Sesuai keinginanku taxi berhenti di depan Apartemen Cempaka. Setelah membayarnya, cepat-cepat aku keluar dari taxi bergegas memasuki Apartemen. Aku mempercepat langkah menuju ke dalam lift yang pintunya hampir tertutup. Di dalamnya terdapat pria dua tahun lebih tua dariku dan pria paruh baya menggenakan jas yang sangat rapi. Pintu lift tertutup, tanganku mulai menekan tombol angka delapan.
Aku merogoh ponsel di dalam tas untuk melihat jam, jam lima lebih lima belas menit. Oh ya ampun, gara-gara kelamaan di tempat Lucas, aku belum sampai di apartemen Verlia padahal hari sudah sore terlebih nanti di rumahku akan ada acara makan malam yang dilaksanakan tepat jam tuju. Sebelum jam tuju berarti aku harus sampai di rumah. Ok, tidak masalah, aku ke sini hanya ingin memastikan kondisi Verlia saja, tidak akan memakan waktu yang lama. Semoga saja.
"Tadi beneran Om, angkutan umum tabrakan sama truk. Apa penyebabnya?" si Pria dua tahun lebih tua dariku memulai pembicaraan.
Aku diam-diam memperhatikan. Ikut penasaran.
Si pria paruh baya berjas mengangguk. "Supir truknya mabuk."
"Otaknya taruh mana sih. Wah gila parah. Ada korban jiwa nggak Om?"
Pria paruh baya merenggangkan dasinya sebelum menjawab. "Dua orang penumpang meninggal. Yang lain luka parah termasuk supir truknya," sebelum melanjutkan pria paruh baya menghela napas. "katanya salah satu dari yang meninggal itu pelajar dari SMA —"
Sebenarnya aku merasa sedikit penasaran dengan ucapan pria berjas hitam itu, tapi bagaimana lagi pintu sudah terbuka. Aku melangkah keluar cepat-cepat bergegas mencari apartemen nomor 59.
Menghela napas lega, akhirnya setelah dua menit mencari akhirnya aku menemukan apartemen nomor 59. Tanganku terjulur, mulai mengetuk pintu.
Tok tok tok
Verlia tidak menanggapi
Coba sekali lagi.
Tok tok tok
Sama saja seperti sebelumnya.
Tanganku mulai terjulur menarik ganggang pintu.
Ceklek.
Menghela napas karena pintu tidak terkunci, aku mulai memasuki apartemen Verlia. Pandanganku kini mengamati ruangan yang sekarang kuinjak, terdapat sebuah sofa menghadap televisi dan di sebelah kanannya terdapat tempat untuk memasak. Aku mulai melangkah menuju pintu bercat putih yang kuyakini adalah sebuah kamar.
Pintu mulai terbuka hingga menampakan Verlia yang tengah tidur ditutupi selimut, sesekali Verlia merintih. Aku mulai mendekatinya, mengernyitkan dahi lalu tanganku menyentuh dahinya. Astaga panas sekali.
Merasa dahinya disentuh, Verlia membuka mata. Aku yakin dia tidak benar-benar tidur nyenyak, makannya saat aku menyentuh dahinya dia langsung menyadarinya.
"Alodie? Ngapain lo ke sini?" tanya Verlia sambil mengganti posisi menjadi duduk sesekali terbatuk-batuk.
Aku mengabaikan pertanyaannya. "Lo udah minum obat, Ver?"
Verlia menggeleng.
Aku menghela napas. "Ya ampun Ver, kenapa lo nggak kasih tahu gue. Kalau lo ngasih tahu mungkin dari tadi gue bakal ke sini, bawain obat buat lo."
Verlia tersenyum kecut. "Buat apa Die? Lagian biarin aja gue sakit."
"Ver!"
"Gue benci sama diri gue sendiri Die. Kenapa hal ini bisa terjadi. Gue belum bisa menerima kenyataan kalau gue hamil, dan impian gue ...? Gue nggak bisa mengikuti ajang cheerleader di Singapura." Verlia memandang perutnya sendiri lalu tersenyum hambar.
"Ver semuanya nggak bakalan baik-baik aja kalau lo masih berandai-andai dan nggak menerima kenyataan." Aku terdiam memilih kata-kata yang tepat lalu kembali menatapnya, kali ini dengan lekat. "Gue ngerti ini gak gampang Ver, tapi bagaimanapun sekarang ada nyawa yang sama sekali nggak bersalah di perut lo. Sekarang yang harus lo lakuin adalah menerima kenyataan, berdamai dengan diri sendiri, lalu jaga kandungan lo, Ver. Lo kuat, lo bisa melewati semua ini Ver."
"Gue harap begitu."
Aku tersenyum kecil. "Nah sekarang gue bakal nyuruh Sila buat beli obat lo Ver."
Mata Verlia terbelalak. "Sila? Lo bilang sama Sila, Die? Kenapa?"
"Mm gue pikir Sila bakal banyak ngebantu, dan sejujurnya gue gak bisa nyimpen ini sendirian. Ini terlalu berisiko, sorry Ver." Aku menatapnya lekat ketika ekspresi Verlia nampak tidak yakin. "Percaya aja sama gue Ver, Sila gak bakal bilang kesiapa pun, kok."
"Tapi Die—"
Aku memotong ucapan Verlia dengan satu kebohongan. "Semuanya akan baik-baik aja, ok."