Suara ramai perbincangan orang-orang dari ruang makan samar-samar mulai terdengar ketika aku masuk ke dalam rumah. Aku berencana menyelinap ke kamar tanpa menghadiri makan malam. Jadi, aku menutup pintu dengan pelan, sangat pelan sambil menggigit bibir bawahku, harap-harap cemas. Setelahnya, aku berjalan dengan langkah pelan, sedikit terseret agar tidak ada seorang pun yang mendengar langkah kakiku.
Setelah hampir memasuki ruang tengah, sebisa mungkin aku memelankan langkah, lebih pelan daripada sebelumnya agar tidak menimbulkan suara. Sekarang aku sudah berada di ruang tengah, suara obrolan oma dan lainnya mulai terdengar jelas. Oma sedang membicarakanku. Oh ya ampun, sudah pasti!
"Kenapa bisa, kamu membiarkan anakmu malam-malam seperti ini masih keluyuran di luar sana, Mel!" Itu pertanyaan oma yang dilontarkan kepada mama.
"Kan tadi aku udah bilang Ma, pasti Alodie ada kepentingan. Aku percaya Alodie, dia anak baik," jawab mama.
Aku menghentikan langkah. Keluyuran? kok kesannya aku ini seperti anak nakal ya? Hello oma, Alodie baru pulang bukan karena main nggak jelas, tapi karena ada kepentingan yang mendesak. Menyangkut nyawa loh. Coba bayangkan. Jika, Verlia nggak berobat, kan, bisa mempengaruhi kesehatan janinnya. Dan itu gawat.
Aku kembali berjalan menuju tangga yang terletak di ujung ruang tengah, sementara mataku tidak berpaling memperhatikan pintu terbuka di depan sana yang menghubungkan ruangan ini dengan ruang makan. Aku kembali menghentikan langkah saat Samuel— sepupuku yang umurnya sebaya danganku— mengarahkan pandangan ke ruangan ini, dia menangkap keberadaanku. Oh my!
Bersamaan dengan itu jari telunjukku kutaruh di depan mulut 'sttttt' menyuruhnya agar tidak memberitahu keberadaanku kepada semua orang. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain, dia menurutiku. Thanks Sam!
Aku mempercepat langkah menaiki tangga, masih sama tanpa menimbulkan suara. Karena siapa pun yang mengedarkan pandangan ke ruang tengah bisa melihat tangga, maka otomatis aku yang sedang menaiki tangga bisa ketahuan.
"Alodie!"
Aku mengepalkan tangan, kan ... kan baru saja dibilang. Sial memang! Aku menelan ludah dengan susah sebelum membalikan badan.
Yang memanggilku barusan itu papa, oh papa kenapa nggak biarin Alodie ke kamar saja sih!
Kini aku membalikan badan. Beberapa orang memusatkan perhatiannya kepadaku. Arg!
"Die, Papa mau bicara sama kamu!"
Menghela napas lalu aku melangkah menuruni tangga, berjalan menuju ruang makan dengan langkah pelan. Kepalaku sedikit menunduk, ada perasaan takut. Ya, mungkin sedikit takut.
Aku mengangkat kepala menampakan orang-orang menggunakan baju resmi, terlihat formal. Eline dia menggenakan gaun, mama sama. Memang setiap kali ada acara makan syukuran pasti semuanya akan menggenakan baju resmi. Aku sama sekali tidak kaget lagi.
Papa yang hendak bertanya kalah cepat dengan Samuel.
"Hai Die." Samuel menyapaku dengan senyum ramah sehingga sedikit mencairkan suasana.
Aku tersenyum kaku. "Mm ... Hai Sam."
Melina mengangkat tangannya lalu ikut menyapaku. "Hai Die. Apa kabar?"
"Mm. Baik."
Oma menatap ke arah Samuel dan Melina secara bergantian, nyaris melototinya. "Samuel, Melina diamlah!" tegurannya.
Baik Samuel dan Melina semuanya memutar bola matanya jengah lalu terdiam kembali melanjutkan makannya.
Sedangkan aku menarik napas dalam, semata-mata menghalau rasa takutku. Karena untuk apa aku takut? aku kan tidak melakukan hal buruk. Di ruang tengah mereka masih memusatkan perhatian kepadaku dengan tatapan yang bermacam-macam. Tidak seperti biasanya, aku yang sering diabaikan kini berhasil mengundang perhatian. Aku mendengus. Lah wong bukannya mencuri perhatian karena hal baik, aku malah kayak orang yang baru saja kepergok melakukan sesuatu kejahatan. Seperti di drama saja! Huft!
Aku menelan ludah dengan susah untuk kedua kalinya. Beberapa orang melanjutkan makan malamnya.
"Sudahlah Mas, tidak usah diperpanjang lagian kita sedang makan malam. Dan Alodie baru aja pulang, pasti capek." Mama melangkah mendekatiku, merangkul pundakku. "Ayo Alodie."
Papa mencegah Mama. "Aku hanya ingin bertanya Mel!" ucap papa, oma manggut-manggut setuju dengan ucapan papa.
Mama menghentikan langkah begitupun denganku. Lalu berbalik menatap meja makan kembali.
"Baru pulang ke mana saja kamu Die?" Papa mulai bertanya. Beberapa orang menunggu jawabanku.