Dedaunan akibat hujan pagi tadi berhamburan di tanah lembap, mengiringi perjalananku dan Sila menuju parkiran. Aku menghentikan langkah saat bola mataku melihat Verlia bersama Bryan di depan sana, tepatnya di samping kelas XI IPS 1— kelas Bryan yang sudah sepi— saling berhadap-hadapan, entah apa yang mereka bicarakan. Tapi setelah itu Verlia langsung berjalan cepat meninggalkan Bryan. Aku harap Bryan tidak kembali membuat hati Verlia hancur.
Dahi Sila mengernyit, bingung kenapa tiba-tiba aku berhenti. "Kenapa berhenti Die?"
Aku menghela napas. "Itu tadi liat Verlia sama Bryan."
Sila memicingkan sebelah alisnya. "Ngapain?"
Aku mengedikan bahu. "Entahlah Sil."
"Alodieeeee."
Jeritan perempuan memanggilku dari kejauhan, membuatku dan Sila refleks menolehkan ke belakang, menampakan Ana, teman sekelasku yang sedang berjalan cepat ke arahku sambil melambaikan tangan.
Kini dia sudah berada di hadapanku. Dahiku mengernyit. "Ada apa Na?"
"Itu tadi ada cowok yang nyariin lo Die."
Cowok nyariin aku, siapa? David, yang biasanya nagih traktiran? Atau jangan-jangan Argam ngajak main bareng? Jika iya, aku tidak bisa berkata-kata lagi melainkan gemuruh senang yang akan kurasakan.
"Cowok? siapa namanya?" Sila angkat bicara, mewakiliku.
Ana menggaruk tengkuknya. "Em itu siapa sih namanya. OSIS. Mm ... Ah ingat! Kalau nggak salah namanya Kak Lucas."
Dahiku mengernyit. "Kak Lucas? Sekarang dia di mana An?"
"Tadi sih nyari lo Die ke kelas kita, mungkin sekarang lagi jalan ke sini," jawab Ana. Baik Aku, Sila, dan Ana menatap ke belakang hingga menampakan seseorang yang tengah menjadi topik pembicaraan.
Ana menunjuk Lucas yang tengah berjalan di belakang sana. "Tuh orangnya, gue cabut dulu ya."
Aku mengangguk. "Iya An. Thanks ya."
Dia mengangguk sebelum berjalan pergi.
Sila menoleh ke arahku, aku balas menatapnya. "Udah deket parkiran. Gue ke sana duluan ya Die," ucap Sila.
"Eh? Ya udah deh."
Sila berjalan menuju parkiran melambaikan tangan. "Byee Die."
"Oh ya. Bye Sil." Aku balas melambaikan tangan.
Sepersekian detik Lucas sudah berada di sampingku. "Mau nemenin gue ke toko buku, Die?" tanyanya.
Keningku berkerut. "Loh bukannya sekarang kita belajar ya Kak? Kok malah disuruh nemenin Kakak beli buku."
Lucas terdiam. "Gue rasa sekalian beli buku, lebih baik sekali-kali kita belajar di luar rumah, bagaimana?"
Keningku kali ini tambah berkerut."Di mana?"
Dengan kalem dia berkata, "Cafe mau?"
Aku menurut saja. "Ya udah deh Kak. Kita berarti ke toko buku dulu, nih?"
Lucas mengangguk. "Lo ijin dulu sama orang tua lo, Die."
"Iya ini juga mau ijin sama mama terus sama Pak Beni biar duluan aja." Mendengar ucapanku Lucas kembali mengangguk. Setelah mengirim pesan kepada mama dan Pak Beni, kami berjalan menuju parkiran, di mana kendaraan Lucas terparkir.
"Pake sabuk pengamannya Die," ucap Lucas sambil memundurkan mobil.
"Oh iya hampir lupa," jawabku.
Mobil mulai keluar gerbang melaju menuju toko buku sebelum pergi ke cafe.
"Kak Lucas setiap hari hampir pergi ke toko buku ya?" tebakku memecah suasana hening kecuali bunyi deru mesin mobil.
Lucas menggeleng. "Nggak juga Die."
"Oh ... Emang kalau ke toko buku beli buku apa aja? Buku pelajaran, kamus-kamus doang?"
Tanpa menoleh masih konsentrasi mengemudi Lucas menjawab ucapanku. "Nggak, kadang juga beli komik."
"Kakak baca komik?"
Lucas mengangguk. "Emang kenapa Die?"
"Heran aja gitu. Gue kira Kakak cuma baca buku pelajaran. Pacaran terus sama rumus-rumus."
Lucas terkekeh. Entah kenapa aku dibuat tersenyum melihatnya, mungkin baru pertama kalinya bagiku melihat Lucas tertawa seperti ini. Sebuah tawa yang lepas.
"Emang rumus bisa dipacari Die?" tanyanya.