Semenjak kejadian di Apartemen, esoknya Verlia berangkat sekolah seperti hari-hari biasanya, terlihat normal. Tidak seperti seseorang yang tengah hamil, tapi mungkin dari sudut pandang geng Stela, Verlia terlihat aneh, ralat menjadi menjengkelkan karena sudah seminggu Verlia bergabung denganku dan Sila. Tidak lagi bermain dengan geng Stela.
Karena hal itu, Stela and the geng tambah tidak menyukaiku dan Sila. Sering kali mereka memusuhi kami hanya karena hal kecil, seperti perbedaan pendapat mengenai warna cat kelas. Mereka menentang pendapat kami dengan cara menjatuhkan, menjelek-jelekkan selera kami, yang katanya rendahan.
Sering kali Stela juga mempengaruhi Verlia supaya sadar untuk tidak bermain denganku dan Sila, dengan menjelek-jelekkan kami yang katanya kami ini tukang rusuh lah, nggak punya malu kayak badut Ancol lah. Badut Ancol? Apanya yang kayak badut Ancol coba? Nggak nyambung banget deh.
Kadang aku kesal sendiri sama nenek peyot Stela. Hellooo ... emang situ nggak ngaca ya! Aku tahu Stela itu pintar, tapi dia sama sekali nggak punya etika sopan santun, nggak punya tata krama berbicara.
Seperti sekarang ini, setelah pulang sekolah aku yang tengah mengambil ponselku yang tertinggal di kolong meja, mendadak menghentikan langkah begitu memergoki Stela, Safira, dan Lovata sedang mencegah Verlia di depan papan tulis kelas.
Lovata menatap tidak suka kepada Verlia. "Ver mending lo nggak usah deket-deket sama badut Ancol si Alodie sama Sila deh," ucapnya. Benar-benar itu mulut pengin aku lakban deh.
Verlia hanya mengerutkan dahinya, tetap diam.
"Lo emang diguna-guna apa sih sama Alodie. Jadi berubah gini. Nggak asyik tahu Ver!" Safira ikut bicara.
Emang aku ini mbah dukun apa? Kalau emang aku bisa mengguna-guna, mungkin kalian dulu yang bakal aku guna-guna. Bukan hanya guna-guna, aku ubah sekalian menjadi tikus got deh!
Kerutan di dahi Verlia lebih kentara. "Diguna-guna apa? Nggak ada yang guna-guna! Gue cuma—"
"Gue cuma apa? Dasar teman musiman lo Ver!" Stela tersenyum kecut sebelum melanjutkan. "Lo sama aja kayak penghianat!" ucapnya sambil memutar bola matanya malas.
Kali ini Verlia balas menatap tidak suka ke arah mereka, kemudian Verlia melangkah pergi. Namun, kaki Stela menghadangnya, sengaja membuat Verlia tersandung.
Sontak mataku terbelalak. "Ver. Awas Ver!"
BRUAK!
Verlia sudah lebih dulu tersandung, jatuh ke lantai. Apa jatuh? Verlia kan sedang hamil!
Tanpa pikir panjang, aku mengepalkan tangan. Hendak balas mendorong Stela tapi kuurungkan. Jika, aku tetap membalasnya maka aku sama saja seperti nenek peyot Stela, bukan? Alhasil, aku hanya berdecak kesal sambil membantu Verlia berdiri.
"Cabut yuk," ajak Lovata. Mereka melangkah keluar.
Sungguh demi apa pun aku ingin mengeluarkan sumpah serapah kepada geng nenek peyot Stela. Sekali lagi mereka melakukan kekerasan, aku nggak bakal tinggal diem!
Aku menghela napas mencoba menetralkan kekesalan sambil menuntun Verlia duduk di kursi.
"Lo nggak papa Ver?"
Verlia menggeleng. "Cuma kakinya agak pegal dikit Die."
"Perutnya sakit nggak?"
"Nggak Die."
"Mau gue antar ke Dokter kandungan Ver?" lagi-lagi aku bertanya, sungguh demi apa pun aku sangat menghawatirkan kandungan Verlia.
Verlia lagi-lagi menggeleng. "Nggak perlu Die." Verlia berdiri tertatih-tatih. "Lagian yang sakit cuma kakinya doang kok Die."
"Tapi Ver!"
Verlia menoleh ke belakang. "Nggak perlu cemas Die. Gue Nggak papa. Beneran," ucap Verlia sambil kembali berjalan, sedangkan aku ikut berjalan mensejajarkan langkah lalu menuntun Verlia menuju parkiran.
***
Aku sama sekali tidak bisa konsentrasi mendengarkan Lucas menjelaskan materi fluida statis karena kepikiran Argam. Bagaimana tidak? saat aku menuntun Verlia menuju parkiran, aku tidak sengaja melihat Eline dan Argam asyik ngobrol di depan kelas Argam. Mana lagi pas Argam mau pergi, Eline pake acara narik tangan Argam kayak di drama-drama. Hueh ... ini hati nggak kuat menyaksikan kedekatan mereka.
"Die paham nggak?"
"Die."
"Alodie!"
Aku mengerjap. "Eh ... em ya paham Kak."
Dahi Lucas mengernyit, mungkin karena dia menyadari semenjak tadi aku sama sekali tidak konsentrasi. "Gue perhatiin dari tadi lo nggak konsentrasi. Kalau lo nggak merhatiin lebih baik udahan dulu deh Die." Nada suara Lucas terdengar tidak bersahabat.
Loh ... loh kok gitu, aku kan nggak sengaja lagian bukan keinginanku tidak konsentrasi. "Terusin aja Kak. Gue merhatiin kok." Aku mengambil buku, menjelaskan ulang apa yang tadi Lucas jelaskan. Walaupun tadi aku nggak konsentrasi, tapi bukan berarti penjelasan Lucas tidak masuk ke otak sama sekali. Masuk sih masuk, tapi hanya beberapa.