"Ini pak uangnya."
Saat sudah sampai di depan rumah Lucas, aku menyerahkan selembar uang kertas biru bergambar Djuanda Kartawidjaja kepada supir taxi.
Supir memberiku kembalian, setelahnya aku melangkah keluar dari taxi menuju halaman rumah Lucas.
Aku berjalan menuju pintu depan, sambil berpikir. Kenapa tadi aku nggak liat Lucas di sekolah? biasanya aku bakal melihatnya di kantin. Tapi tadi pas aku cari-cari, dia nggak keliatan.
Apa mungkin Lucas nggak sekolah. Semisal dia nggak sekolah dia bisa kan mengirimku pesan, mengabarkan bahwa les hari ini libur. Jika saja setelah ini les benar-benar libur kan sia-sia aku datang ke sini.
Tanganku terjulur, mulai menekan bel.
Ting ... Tong ... Ting ... Tong ....
Tidak ada yang membukakan pintu.
Coba sekali lagi.
Hendak menekan bel aku urungkan saat pintu rumah mulai terbuka menampakan Bi Inah.
Bi Inah tersenyum. "Non Alodie. Sini masuk Non."
Aku mengangguk, berjalan masuk. Setelah Bi Inah menutup pintu, dia berbalik kemudian berjalan ke ruang tengah, sedangkan aku mengekorinya.
"Non Alodie, ke sini mau jenguk Den Lucas, 'kan?" tanya Bi Inah saat sudah berada di ruang tengah dekat tangga.
Aku mengernyitkan dahi. Apa Lucas sedang sakit? Makannya dia nggak kelihatan di kantin. "Kak Lucas sakit Bi?"
Kini gantian Bi Inah yang mengernyitkan dahi. "Loh memangnya Non Alodie belum tahu? Den Lucas kan tadi nggak masuk sekolah."
"Memangnya Lucas sakit apa Bi?"
"Demam Non dari kemarin malam. Bibi panik banget pas Den Lucas sakit soalnya kemarin nyonya belum pulang kerja. Sedangkan Non Daisha udah balik ke Singapur kemarin sore. Cuma ada Bibi doang di rumah, " jelasnya.
Aku memincingkan sebelah alisku. "Terus Kak Lucas udah berobat?"
"Udah Non. Kemarin Bibi langsung nelpon Dokter."
Aku manggut-manggut. "Bi, apa benar orang tuanya kak Lucas udah cerai?" tanyaku hati-hati.
"Iya Non. Tuan sama nyonya udah cerai, kalau nggak salah cerainya dua tahun yang lalu. Kasihan Den Lucasnya, pas masih kecil kurang perhatian tuan sama nyonya karena mereka sibuk kerja. Pas udah besar tuan sama nyonya malah cerai."
Aku terdiam, lagi-lagi aku merasa iba dengan Lucas. Tapi herannya walaupun Lucas kurang perhatian kedua orang tuanya, dia tumbuh menjadi pria yang baik-baik dan berprestasi.
Aku menghela napas. "Papa Kak Lucas memang nggak pernah ke sini? Sekali-kali gitu jenguk anaknya."
Bi Inah menggeleng. "Jarang atuh Non. Tuan kan tinggal di Singapur. Jenguk Den Lucas paling satu tahun cuma dua kali atau malah sekali."
Aku hanya mengangguk. "Bi temenin Alodie naik jenguk Kak Lucas di kamarnya yuk."
Bi Inah malah tertawa. "Aduh kenapa atuh Non. Malu ya?" jawabnya sambil menggodaku.
Bukannya aku malu tapi nggak sopan aja pergi ke kamar, kamar cowok lagi. "Bukannya malu Bi, nggak sopan aja gitu."
Bi Inah tersenyum. "Nggak papa Non. Den Lucas pasti ngijinin Non Alodie masuk. Bibi mau ke dapur dulu, bikin bubur buat Den Lucas."
Aku manggut-manggut.
Setelah Bi Inah melangkah pergi ke dapur aku mulai menaiki tangga, berjalan menuju kamar Lucas.
Di depan pintu kamar Lucas yang tertutup rapat, sebelum menarik handle pintu, aku menarik napas beberapa kali. Apa tidak apa-apa aku masuk ke dalam kamar Lucas?
Kamar cowok loh.
Dan pastinya jika aku masuk ke dalam kamar, hanya akan ada aku dan Lucas saja. Aku kembali menghela napas, mencoba untuk berpikir tenang. Mungkin tidak masalah aku masuk ke kamar Lucas lagian aku hanya ingin menjenguknya saja.