Aku sangat menyesal menolak ajakan Argam. Jika waktu bisa diulang mungkin aku akan menerima ajakannya, soalnya sangat jarang Argam mengajakku nonton di bioskop, malah sepertinya baru pertama kalinya Argam ngajak nonton. Kira-kira tiketnya diberikan kepada siapa ya? Paling temannya. Tapi siapa, cowok atau cewek?
Aku menghela napas. Tidak masalah, aku tidak boleh menyesal. Aku menolak nonton bareng Argam kan karena aku mau belajar, biar bisa memenangkan taruhan mendapatkannya.
Aku menoleh ke arah Sila ketika dia menepuk lenganku. "Lo mau bengong aja. Nggak mau pulang Die?"
Aku mengerjap. Bel pulang sudah berbunyi. Aku menoleh ke sekitar, guru sudah pergi, sementara anak-anak yang lain sibuk berkemas-kemas. Cepat-cepat aku mengemasi bawaanku ke dalam tas.
"Biasanya kalau bel pulang bunyi, lo paling semangat kemas-kemas. Mikirin apa sih lo Die?" tanyanya sambil memasukan tumpukan buku ke dalam tas.
Aku menggeleng. Sepertinya aku tidak perlu menceritakan kepada Sila. "Nggak papa kok Sil. Cuma lagi capek doang."
Sila manggut-manggut, setelahnya kami berjalan beriringan keluar kelas menuju parkiran.
Saat hampir berada di parkiran, aku melihat Argam boncengan dengan seorang cewek. Sebelum motor Argam benar-benar pergi, aku menyipitkan mata, memastikan bahwa aku tidak salah lihat. Dahiku mengernyit, cewek itu Eline? Argam boncengan sama Eline. Berarti Argam mengajak Eline pergi nonton bareng di Bioskop?
Hatiku terasa sesak setiap kali melihat Argam bersama cewek lain. Seharusnya tadi aku tidak menolak ajakan Argam. Seharusnya aku menerimanya. Barangkali setelah menonton bareng Argam, dia akan lebih dekat denganku dan mengajak jadian. Otomatis kan kalau sudah jadian taruhannya batal, sehingga aku tidak usah repot-repot belajar dengan Lucas.
Sila menoleh ke arahku. "Die, gue duluan ya."
Aku mengangguk. "Oh ... Mm iya Sil."
Sila melambaikan tangan sambil berjalan menuju parkiran. Aku balas melambaikan tangan sambil berjalan keluar gerbang, menunggu jemputan Pak Beni.
Aku mendesah beberapa kali begitu sudah setengah jam jemputan Pak Beni tidak kunjung datang. Beberapa detik kemudian ponselku bergetar, ada panggilan masuk dari mama.
"Ya Ma."
"Die, kamu sama Eline pulangnya naik angkot ya. Kata Pak Beni ban mobilnya bocor lagi diservis," jawab mama di seberang sana.
Hmm pantesan lama banget jemputan nggak datang-datang.
Aku mengangguk, mengiyakan. "Ok Ma."
Setelah panggilan berakhir hendak melangkah menuju halte, aku urungkan sebab aku melihat Stela dan Lovata masih di dalam sekolah yang sudah sepi, padahal hari ini mereka tidak ada jadwal ekstrakulikuler. Ngapain mereka masih berada di sekolah? Mataku sontak melebar. Apa mereka yang menerorku?
Dengan langkah pelan dan was-was aku kembali melangkah masuk ke dalam gerbang, Stela dan Lovata tidak boleh mengetahui keberadaanku.
Di depan sana Stela dan Lovata berjalan ke arah kelas. Aku mempercepat langkah, mengikutinya hingga ....
Aku meringis kesakitan saat bertubrukan dengan David di persimpangan koridor. Aku menghela napas, pantesan David nggak liat dan main nubruk aja, orang dia membawa banyak bola futsal. Jika saja aku tidak sigap maka aku bakal jatuh ke tanah seperti nasib beberapa bola futsal David yang sudah menggelinding ke sana ke mari.
"Bantu ambil bolanya, Die!" jerit David sambil marah.
Aku menatap ke arah punggung Stela dan Lovata di depan sana. Mereka tengah memandang sekeliling, untung mereka nggak berbalik ke belakang, tapi tetap saja aku cepat-cepat bersembunyi sambil menarik lengan baju futsal David supaya dia ikut bersembunyi di balik tembok.
"Ngapain sih main tarik-tarik." David ngomel.
Aku meletakan jari telunjuk di depan bibirku. "Sttt ... jangan berisik deh Vid."
David memandangku jengkel. "Ada apa, sih, main sembunyi-sembunyian. Memangnya lagi main petak umpet apa?" ketusnya.
Sumpah itu mulut David pengin aku cekokin cabe setan. Tapi sayang aku nggak bawa cabe setan, alhasil aku hanya menepuk lengan David. Dia menggerang kesakitan. "Awww."
"Sstt diem Vid," gemasku.
Lagi-lagi David menatapku jengkel. "Sakit tahu, salah siapa lo mukul-mukul gue huh?!"
"WOAH ... ada yang pacaran diem-diem nih."
Aku dan David langsung menoleh ke belakang. Suara tadi berasal dari mulut Arlon.
Di belakang sana Arlon masih menatap kami. "Oh si Alodie. What! lo pacaran sama anak tengil futsal itu?" jeritnya.