Aku tidak pernah menduga akan membawa Lucas ke acara ulang tahun Melina. Ini semua karena Eline. Jika saja Eline tidak meninggalkanku, aku tidak perlu merepotkan Lucas, mengajaknya datang ke acara ini.
"Lo mau ngapain Mel?" Melina terus saja menarikku melewati beberapa tamu.
"Udah lo diem aja Die," ucapnya sambil terus menarikku menaiki tangga. Aku mendesah karena telah meninggalkan Lucas sendirian di keramaian orang-orang yang tidak dikenalnya.
Aku menoleh ke arah Lucas lalu menghela napas lega saat Lucas tidak lagi sendirian, Samuel telah menemaninya. Entah apa yang mereka obrolkan, tapi kurasa mereka terlihat akrab.
"Mel lo ngapain sih ngebawa gue ke kamar?" tanyaku penuh selidik saat Melina malah membawaku ke kamarnya.
Dia mendorong-dorongku agar aku duduk di kursi riasnya. "Aduh Die, emang lo nggak bisa dandan apa? Sekali-kali aja gitu dandan, pake make up kaya adik lo tuh si Eline. Masa kakak kalah sama adiknya," ucap Melina sambil menyiapkan alat make up terbaiknya. Dia bilang ini adalah make up kualitas terbaik miliknya yang digunakan hanya kalau ada acara tertentu saja. Harganya mahal, dan hampir sebagian waterproof. Bahkan ketika ada temannya yang meminjamnya— memintanya— dia akan memberikan make up lain, make up yang biasa digunakan untuk sehari-hari. Maka dari itu dia bilang aku harus bersyukur karena terdaftar sebagai salah satu orang terpilih, dan tak boleh menyia-nyiakan, menolaknya.
Aku menghela napas. "Bukannya gitu Mel, gue nggak terbiasa pake make up. Mau harganya selangit, mau weterprof, gue nggak—"
"Stttt." Melina kembali menyuruhku untuk diam membuatku mendesah. "Kalau lo nggak mau dandan cowok tadi bakal milih Eline, sekalipun lo menangin taruhannya, Die," lanjut Melina sambil meratakan foundation setelah sebelumnya dia memberikanku primer.
Sepertinya Melina sudah salah paham deh. Mungkin dia mengira Lucas itu Argam. "Mel, dia bukan cowok yang gue sama adik gue taksir. Dia Kak Lucas, kakak kelas gue."
"Masa sih? Tapi seriusan deh dia cakep banget. " Kini tangan lincah Melina berpindah ke arah kelopak mataku, menambahkan eyeshadow.
Aku juga setuju dengan Melina kalau Lucas itu tampan. Lebih tampan malah daripada Argam. Tapi namanya aja orang jatuh cinta, yang tadinya lumayan tampan pun menjadi sangat tampan. Jadi menurutku Argam sama tampannya dengan Lucas.
Aku menghela napas. "Tapi jujur aja Kak Lucas emang lebih cakep sih daripada Argam. Tapi Argam juga nggak kalah cakep kok. Lagian jatuh cinta itu nggak liat dari fisiknya aja Mel. Yah gitu lah." Aku tersenyum.
Melina berdehem. "Ehm. Tapi beneran nih lo nggak punya rasa apa-apa sama Kak Lucas itu? Kalau nggak punya rasa, kenapa lo malah ngajakin dia ke sini bukannya Argam? Hayo loh!"
"Yah ... mm ... itu kebetulan aja Mel."
Melina tersenyum menggodaku. "Diiih nggak mau ngaku," ucapnya, sambil memberikan sedikit blusher warna peach di pipiku. "Tapi Die, menurut gue lo cocok deh sama Kak Lucas."
Entah kenapa tiba-tiba pipiku memanas mungkin sudah memerah seperti rebusan udang. "Alah nggak usah ngarang deh Mel," elakku.
Melina membuka lipstik. "Gue lagi nggak bohong kok. Hati-hati loh Die nanti lo nyesel Kak Lucas sama cewek lain." Melina terkekeh.
Aku hanya memutar bola mata malas. "Ada-ada aja," gerutuku.
Kini Melina mulai mengoleskan lipstik di bibirku. "Gue ibu peri yang baik hati 'kan? Liat aja adik lo bakal kalah sama penampilan lo karena tangan ajaib gue," Melina tersenyum jumawa, "setelah ini lo bakal kayak Cinderella, Die." Melina terkekeh.
Aku memandangnya malas. "Lo sebenarnya lagi muji gue apa muji diri lo, nih?"
Melina mengibaskan rambutnya. "Kemampuan gue lah hahahaha." Melina tertawa setan.