Sebelum Argam pergi ke kelasnya, bersiap-siap untuk pentas, dia menepuk pundakku terlebih dahulu seakan tepukannnya memberi kekuatan kepadaku. "Lo bisa Die." Dia tersenyum kepadaku lalu pergi begitu saja. Setidaknya karena perkataan Argam barusan membuatku sedikit lega.
Sila dan Verlia mengerubungiku. "Lo beneran mau gantiin Eline tampil, Die?" tanya Sila.
Aku menggigit bibir bawahku. Aku benar-benar bingung, aku nggak bisa main alat musik sedangkan pentas ini musiknya harus live. Eline di mana sih?! Aku menghela napas, lalu menjawab pertanyaan Sila tadi. "Nggak, gue nggak mau, Sil. Gue mau cari Eline aja dulu."
Aku pikir-pikir lebih baik mencari Eline dulu, apa benar dia sakit? Aku harap dia baik-baik saja. Demi apa pun aku tidak mau tampil, aku sama sekali tidak punya persiapan untuk tampil di panggung sana. Semisal Eline benar-benar sakit gimana? Oh ya ampun aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri dengan tampil tanpa persiapan. Sudah cukup nama baikku tercemar karena berantem sama Bryan dan masuk ruang BK.
"Gue bantu nyari Eline, Die," timpal Verlia.
Aku manggut-manggut.
Sila menatapku. "Gue juga mau bantu nyari Eline, Die."
Aku terdiam lalu balas menatap Sila. "Setelah pentas ini, kan, lo yang tampil Sil. Mending lo nggak usah nyari deh. Gue nggak papa kok."
Sila menghela napas. "Ok ... ok Alodie. Semoga Eline cepat ditemukan, ya, karena kan setelah drama musikal Putri tidur elo yang bakal tampil."
Aku mengengguk. "Semoga aja Sil."
Aku memutuskan untuk tidak ikut pentas drama musikal Putri tidur. Tidak masalah. Lagi pula aku hanya figuran, jika ada hanya sebagai pemanis, jika tidak ada tidak ngaruh atau malah ada atau pun tidak adanya diriku tidak ngaruh sama sekali? Karena hal itu, selama mereka tampil ada waktu bagiku untuk mencari Eline.
Aku dan Verlia sudah berpencar. Aku berjalan ke arah timur ke kelas Eline, sedangkan Verlia berjalan ke arah selatan ke kantin, siapa tahu Eline ada di kantin.
Dengan langkah cepat, aku mulai menelusuri koridor sambil mengedarkan pandangan. Setibanya di depan kelas Eline, aku langsung berlari masuk ke kelasnya, tapi bahkan tidak ada siapa pun. Aku berdecak kesal. Tidak menyerah dan tidak kehabisan akal, aku langsung membalikan badan berjalan menuju kelasku, mengambil ponselku di dalam tas untuk menelpon Eline.
Dahiku mengernyit saat tanda signal di ponselku hanya ada satu. Harusnya muncul dua karena ponselku memiliki dua kartu SIM, otomatis aku tidak bisa memanggil Eline. Astaga! Kenapa harus seperti ini? benar-benar aneh!
Aku terdiam. Cepat-cepat aku membuka ponselku, mengecek kartu SIM perdanaku. Kerutan di dahiku terlihat lebih kentara saat kartu SIM-ku tidak ada di dalam ponselku, kok bisa?
Aku menghela napas. Tadi pagi kartu itu masih ada, aku yakin itu, karena aku masih bisa menghubungi mama. Menghilang sendiri? Tidak mungkin, tidak masuk akal. Lalu ke mana perginya kartu SIM ponselku?
Apa seseorang mengambil SIM ponselku? Tapi untuk apa?
Aku kembali mengeluari kelas dengan langkah sedikit terseret, berjalan untuk menghampiri Verlia. Siapa tahu dia menemukan Eline.
"Gimana Ver?" tanyaku kepada Verlia saat sudah berada di depan kantin.
Verlia menggeleng. "Nggak ketemu Die."
Aku mendengus. Lalu memberitahu soal kartu SIM-ku yang tiba-tiba menghilang.
Mendengar itu Verlia menggigit bibir bawahnya seperti sedang berpikir. "Menurut gue, Die, kartu lo hilang itu karena ada orang yang sengaja ngambil deh."