Aku menghela napas saat sudah berada di atas panggung. Tangan kananku terjulur melepas mikrofon dari stand mikrofon, sedangkan pandanganku sesekali kuedarkan ke arah penonton di depan sana. Aku menggigit bibir bawahku sambil menunggu rekaman musik diputar.
Satu detik.
Dua detik.
Hingga sampai ke delapan detik aku masih mematung dengan keringat dingin, menunggu musik terputar. Beberapa anak menjerit, mengeluh kenapa aku hanya diam seperti orang bodoh. Hingga bola mataku tidak sengaja bertemu pandang dengan nenek peyot Stela.
Dia beridiri di kerumunan banyak orang bersama geng-nya. Stela tersenyum mengejek ke arahku sambil bersedekap, mungkin senang melihatku seperti orang bodoh dan berharap dipermalukan banyak orang. Melihat itu aku hanya bisa mengepalkan tangan kiriku.
Aku menghela napas mencoba sabar lalu menoleh ke samping panggung, berharap teman Verlia memutar rekaman musiknya. Namun, tidak ada tanda-tanda musik akan terputar. Aku meringis sambil kembali menoleh ke arah panggung dengan tatapan frustasi, aku rasa keberanianku kembali hilang entah ke mana.
Detik berikutnya aku bisa melihat Sila. Dia berdiri di keramaian penonton lain, memandangku sambil menautkan ke dua tangannya di bawah dagu, seperti sedang berdoa untukku.
"Hei kenapa lama sekali. Ayolah dimulai!"
"Kenapa sih, kok malah diem?"
Aku bisa mendengar jeritan beberapa penonton. Beberapa lagi ada yang berbisik-bisik karena melihat reaksiku yang hanya diam seperti orang bodoh. Rasanya aku ingin menangis dan lenyap saja!
Aku kembali menelan ludah susah, apa lebih baik aku memundurkan diri dan berkata 'Teman-teman. Maaf saya tidak bisa tampil. Seperti yang kalian tahu saya di sini mengantikan adik saya, Eline. Maka dari itu saya tidak bisa tampil karena tanpa persiapan.' lalu aku akan terkekeh seperti orang bodoh dan orang-orang akan meneriakiku 'Huuuuu' atau beberapa orang akan melepaskan sepatunya untuk melemparku, membayangkan saja membuatku bergidik ngeri. Oh astaga, kenapa jadi seperti ini?!
Sekali lagi aku mengedarkan pandangan, mungkin aku harus benar-benar mengundurkan diri. Hingga tanpa sadar aku mengangkat mikrofon. Aku berdehem sebelum bicara. "Teman-teman---"
Aku menghentikan ucapanku, sedangkan dahiku berkerut saat penonton memekik kegirangan. "Wow Kak Lucaaaas!"
"Kak Lucaaaas aku padamu."
Aku mengikuti arah pandang penonton. Di sana Lucas tengah menaiki tangga panggung, berjalan santai kemudian duduk di depan piano yang memang sudah ada sejak tadi. Aku menghela napas lega.
Sekarang di mataku Lucas seperti pahlawan di dalam dongeng yang pernah aku tonton. Menolong sang putri di detik-detik terakhir. Sungguh saat ini aku merasa seperti seorang putri. Benar-benar konyol!
Dia berucap kepadaku. "Heaven Die," ucapnya. Aku mengerjap, lalu mengangguk paham. Setidaknya aku dan Lucas pernah menyanyikan lagu itu bersama-sama. Jadi, aku harap tidak akan ada kesulitan yang muncul saat aku menyanyikan lagu itu.
Jari jemari lentik Lucas mulai menekan tuts-tuts piano dengan sangat lincah bersamaan dengan itu beberapa anak cewek kembali menjerit heboh memanggil nama Lucas.
Samar-samar aku bisa melihat raut wajah Stela yang dipenuhi dengan kemurkaan lalu dia berdecak kesal.
Detik berikutnya aku mulai bernyanyi diiringi nada yang diciptakan oleh Lucas.
Oh - thinkin' about all our younger years
Oh - terpikir tentang masa-masa muda kita
There was only you and me
Hanya ada kau dan aku
We were young and wild and free
Kita masih muda dan liar dan bebas
Now nothin' can take you away from me
Kini tak ada yang bisa mengambilmu dariku