Aku menarik tangan Sila, sedangkan Sila menarik tangan Verlia. Kami melangkah masuk melewati kerumuan orang-orang hanya untuk melihat hasil peringkat di papan pengumuman. Tanpa sadar, aku sudah tidak lagi menarik tangan Sila, kami sudah bepencar.
Jariku mulai menelusuri nama-nama di papan pengumuman, sedangkan mulutku bergumam menyebut namaku sendiri. Sesekali aku mendesah karena seseorang menyenggolku, di sini benar-benar sangat berdesak-desakan.
Hingga tak sengaja lenganku bersenggolan dengan lengan Argam. Dia tersenyum. "Hai Die, lama nggak bertemu ya?"
Aku mengangguk, balas tersenyum. "Iya nih Gam." Setelahnya Argam sudah tidak ada lagi di sisiku, entah berada di mana karena memang di sini sangat ramai.
Kini aku kembali menelusuri namaku di papan, tersenyum kecil begitu jariku berhasil menemukannya. Aku mendapatkan peringkat tiga. Jika saja aku tidak sedang taruhan dengan Eline, maka aku akan senang mendapatkan peringkat tiga, karena itu berarti belajarku selama ini dengan Lucas tidak sia-sia. Aku yang selalu berada di posisi lima kini berada di posisi tiga, aku tersenyum kecil. Namun, senyumku lenyap saat batinku berkata, memberitahuku kalau Eline pasti akan mendapatkan peringkat di atasku.
Aku keluar kerumunan melewati orang-orang yang masih berdesak-desakan melihat papan pengumuman. Sila dan Verlia ternyata sudah berada di luar kerumunan. Dia melambaikan tangan kepadaku, aku melangkah mendekatinya.
Kami berjalan beriringan menuju kelas. "Lo dapet peringkat berapa, Die?" tanya Sila.
Aku menghela napas. "Gue dapet peringkat tiga."
Sila kembali menoleh ke arahku. "Wow, Die, lo ngalahin gue sama Verlia. Gue cuma dapet peringkat delapan."
"Dan gue cuma dapet peringkat enam. Lo paling tinggi nih dari kita," tambah Verlia.
"Iya sih Sil, Ver. Tapi gue nggak tahu Eline dapet peringkat berapa. Kalau dia berada di atasku yah artinya gue kalah taruhan sama dia," jelasku.
Baik Verlia dan Sila keduanya menepuk-nepuk pundakku.
"Nanti kalau lo bener kalah taruhan, lo yang legowo ya Die, terima aja." Verlia menasehatiku seperti orang tua menasehati anaknya.
Aku manggut-manggut.
"Jangan nangis guling-guling ya, Die. Gue nggak mau tanggung jawab loh." Sila menggodaku lalu terkekeh.
Melihat itu aku hanya memanyunkan bibir. "Ugh kalian itu."
Sila dan Verlia malah menertawakanku. Dasar ya mereka!
Di persimpangan koridor, aku melihat punggung Eline. Aku tahu dia masih sangat marah kepadaku, tapi aku harus menemuinya, menanyakan peringkatnya karena aku ingin cepat-cepat mengakhiri taruhan ini.
Aku menghentikan langkah. "Sil, Ver, lo duluan aja ke kelas. Gue mau menemui Eline dulu."
Sila dan Verlia manggut-manggut. "Ok, Die. Kami tunggu ya di kelas."
Aku mengangguk sambil memberikan jempol, kemudian melangkah pergi menghampiri Eline yang masih berjalan di koridor sana.
"Eliiiine," jeritku.
Dia tidak mendengarku. Aku mempercepat langkah, memperdekat jarak lalu memanggilnya lagi. "Eliiine."
Dia menghentikan langkah, menoleh ke belakang, memandangku.
Aku menghentikan langkah tepat di depannya. "Mau apa?" tanyanya ketus.
Dahiku berkerut saat melihat mata Eline terlihat lebih sembab dari pagi tadi. Aku pastikan Eline baru saja kembali menangis. Tadi malam menangis, sekarang menangis, memang ada masalah apa?
Aku menghela napas. "Lo dapet peringkat berapa?"