Aku sudah berada di Roftoop, berjalan menghampiri seorang cowok yang sangat aku kenali tengah duduk lesehan, memunggungiku. Aku menggigit bibir bawahku, berharap aku tidak salah lihat.
Tepat berada di belakangnya, aku menyentuh dadaku yang kembali berdetak lebih cepat. Aku terkesiap. "Argam?" ucapku memastikan, setengah tidak percaya bahwa penulis surat itu adalah Argam?
Dia menoleh balas menatapku lalu tersenyum. Aku sama sekali tidak bisa membaca senyum apa yang Argam lukis di wajahnya. "Sini Die, gue mau ngomong," ucapnya sambil menepuk tempat di sebelahnya, menyuruhku untuk duduk.
Aku mengangguk sambil berjalan mendekatinya, kemudian duduk di sampingnya. Aku menoleh ke arahnya, dia tengah mendongak menatap langit cerah. Aku menghela napas lalu ikut menatap langit.
Samar-samar aku bisa merasakan Argam menoleh ke arahku. "Lo tahu kenapa gue manggil lo ke sini?" tanyanya.
Aku menoleh balas menatapnya lalu mengangguk. "Ngasih tahu ke gue kalau lo yang nulis surat itu," jawabku, seharusnya saat ini aku senang karena ternyata seseorang yang aku sukai juga menyukaiku balik, tapi bahkan aku tidak merasa senang. Aku tidak merasakan kupu-kupu menggelitik tubuhku, aku juga tidak merasa berbunga-bunga, aku tidak merasakan perasaan seorang yang tengah dilanda asmara.
Lagi-lagi Argam tersenyum. "Tepat sekali, tapi ada alasan lain lagi."
Aku mengernyitkan dahi. "Em, iya ngomong aja Gam."
Kini Argam menatap dalam mataku. "Lo udah tahu gue suka sama lo dari surat itu kan. Jadi apa lo mau jadi cewek gue, Die?"
Aku tertegun sedikit terkejut, lalu menelan ludah susah. Saat ini aku benar-benar gugup dan bingung. Seharusnya aku langsung mengangguk, menerimanya karena pada akhirnya mimpiku selama ini—Argam mengajakku jadian— terkabul. Tapi apa yang kini aku rasakan, hanya kebimbangan yang menyelimutiku.
Argam menggaruk kepala belakangnya. "Gimana Die?"
Aku mengerjap mendengar pertanyaan Argam kedua kalinya. "Mm ... mungkin—"
"Bentar Die." Argam memotong ucapanku karena ponselnya bergetar.
Setelah beberapa detik bertelepon dan juga memberi waktu bagiku untuk berpikir, mempertimbangkan jawaban apa yang bakal aku berikan kepadanya, dia kembali menoleh ke arahku. "Jadi apa jawaban lo?"
Aku menghela napas. "Gue butuh waktu Gam."
Argam tersenyum lalu mengangguk. "Dua hari Die. Gue tunggu jawaban lo selama dua hari, ok?"
Dua hari? Itu terlalu singkat. Aku manggut-manggut terpaksa.
"Ya udah gue cabut dulu Die. Udah ditunggu temen nih, katanya sekarang ada latihan futsal."