Hi Cold Prince

Jalvanica
Chapter #51

49. Merasa Kehilangan (?)

Setelah berada di kedai es krim bersama Lucas, sebelum memulai pembicaraan, aku membaca pesan Sila terlebih dahulu. Dia mengabariku bahwa Eline akhirnya menghukum Stela and the geng untuk membersihkan kamar mandi siswa selama seminggu. Mereka menurut asalkan Eline nggak melapor perbuatan mereka ke polisi.

Kumasukkan ponsel ke dalam saku, menyendok es krim lalu kembali kumasukkan ke dalam mulut. Diam-diam kutatap Lucas yang duduk di sebelahku tengah mengetikan sesuatu di ponselnya. Dia mendongak, menoleh ke arahku, wow bisa-bisa aku ketahuan memperhatikannya. Sontak aku langsung memalingkan wajah ke meja di sekelilingku yang terpenuhi pengunjung. Pura-pura sibuk memperhatikan sekeliling.

Aku bisa merasakan Lucas menatapku. "Lo mau ngomong apa Die?"

Aku menoleh ke arah Lucas balas menatapnya. "Itu gue manggil Kakak ke sini cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih, ya, udah mau bantu minta rekaman CCTV."

Lucas memasukan sesendok es krim ke dalam mulutnya. "Itu aja, nggak ada yang lain Die?"

Dahiku mengernyit. "Hah?" sumpah mukaku ini pasti udah kayak orang bego. Sebenarnya banyak yang ingin aku omongin ke Lucas. Salah satunya menanyakan di mana Lucas mau kuliah, terus mau berangkat kapan. Tapi aku ragu mengatakan itu semua, dikira nanti aku sok ikut campur.

"Gue sebentar lagi udah mau masuk kuliah loh Die. Barangkali lo mau tanya-tanya di mana gue kuliah," tanyanya sangat tenang hingga aku yang tengah menelan es krim berhasil dibuatnya tersedak.

Aku menatap Lucas aneh, jangan-jangan dia bisa membaca pikiranku. Hih ngeri! Aku menghela napas, apa-apaan sih aku ini?! Itu sesuatu yang mustahil!

Aku berdehem. "Ehm, iya Kakak mau kuliah di mana?" tanyaku sok nggak terlihat penasaran, sebenarnya sih penasaran banget.

Lucas kembali memasukan sesendok es krim ke dalam mulutnya. "Gue diterima beasiswa di New York, Die."

Aku membulatkan mata, perkataan Lucas benar-benar seperti petir yang menyambarku di siang bolong. "Hah! New York?! Jadi Kak Lucas mau kuliah di Now York, nggak jadi di Jogja?" tanyaku terkejut. Setelahnya aku menunduk, entah kenapa aku sedih. Aku berharap apa yang dikatakan Lucas hanyalah mimpi yang tidak mau aku dengar.

Lucas menatapku heran. Aku menghela napas lalu mengangkat kepala tidak mau terlihat sedih, walau kenyataanya sekujur tubuhku melemas.

"Kok keliatannya sedih gitu?" tanyanya.

Aku memandangnya sinis. bagaimana nggak sedih? 'Lo orang yang berpengaruh dalam hidup gue Kak! Tanpa gue sadari lo udah masuk ke dalam hidup gue dan berhasil merubah apa yang gue punya. Prinsip, impian, lo diem-diem mempengaruhi itu semua, mengubahnya tanpa gue tahu. Coba aja gue nggak kenal lo, gue pasti nggak bakal rajin belajar, dan mendapatkan peringkat tiga. Gue nggak akan pernah nyanyi bareng lo, menyalurkan hobi lama gue. Lo udah membangkitkan hobi menyanyi gue Kak tanpa gue tahu. Lo juga selalu ada saat gue butuh. Dan lo adalah orang yang menyadarkan betapa berharganya hidup gue, gue berharga. Seenggaknya seperti kata lo di malam itu, gue berharga buat lo. Itu artinya lo juga berharga buat gue Kak!'

"Kok diem Die?"

Aku mengerjap, lalu menghela napas saat aku tidak bisa mengatakan apa yang aku pikirkan. "Itu ya mm biasa aja. Gue nggak sedih kok." Pokoknya Lucas nggak boleh tahu aku sedih! Punya hak apa aku sedih? ha-ha-ha!

Lucas menatapku sedikit terkejut, tapi tiba-tiba dia terkekeh, apanya yang lucu coba? "Udah gue duga," jawabnya santai.

Aku menghela napas. "Jadi kapan Kakak berangkat ke sana? Nggak bisa kuliah di Jogja aja, gitu?" tanyaku, kesannya malah aku sedang mencegah Lucas untuk kuliah di New York dan menyarankan kuliah di Jogja saja.

Lucas menatapku lekat, menghela napas lalu menatapku dengan santai. "Nggak bisa Die, gue nggak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Gue mau keluar dari zona nyaman Die, ngejar impian dan jauh dari orang yang gue sayang."

Aku menggigit bibir bawahku lalu mendesah. "Oh gitu," jawabku akhirnya pura-pura nggak peduli.

"Loh kok responnya cuma gitu?"

Aku kembali menatap ketus ke arah Lucas. "Terus gue harus ngerespon apa, Kak?"

Lucas menatapku lekat hingga mengunci pandanganku, aku terhanyut oleh tatapannya. Lucas menoleh ke kanan dan kirinya memastikan tidak ada seseorang yang memperhatikannya, lalu dia begitu saja mendekatkan kepala ke arah pipiku.

Aku mematung dengan pipi memerah, sedangkan jantungku sudah berdebar hebat nyaris mencolos.

Dia mendekatkan wajahnya lebih dekat, lebih dekat lagi, nyaris menempel hingga aku bisa merasakan aroma khas wangi Lucas yang memberikan sensasi tersendiri dan ....

Aku hampir menutup mata tapi kuurungkan saat dia hanya berbisik kepadaku. "Nggak mau tanya kapan gue pulang barangkali lo kangen Die?" Lucas terkekeh.

Lihat selengkapnya