Baru beberapa detik merebahkan diri di atas kasur setelah pulang dari rumah Argam, aku jadi kepikiran Eline. Aku rasa aku perlu mengatakan tentang Argam kepadanya bahwa aku tidak pacaran dengan Argam. Aku berdiri, melangkah keluar kamar menuju kamar Eline yang pintunya terbuka setengah.
Tanpa permisi, aku masuk ke dalam kamarnya. Sebuah amplop dan cokelat berserakan di meja belajarnya. Dari dulu memang banyak pria yang memberikan amplop dan cokelat— terkadang sebuket bunga— kepada Eline. Eline cantik lebih cantik daripada aku. Jadi, wajar banyak pria yang menyukainya.
Hendak menyentuh amplop aku urungkan sebab Eline memanggilku.
"Kak."
Refleks aku menoleh mendapati Eline menggenakan baju piyama berdiri di ambang pintu.
Eline mengangkat alisnya sebelah. "Ada apa Kakak datang ke sini?" Eline mendengus, tapi dia sudah tidak lagi berkata ketus. Akhir-akhir ini Eline memang banyak berubah setelah dia minta maaf kepadaku kala itu di Rooftop. Aku rasa Eline benar-benar meminta maaf kepadaku.
"Gue perlu ngomong sama lo," jawabku.
Eline berjalan mendekatiku. "Iya ngomong aja." Eline mengambil cokelat di atas meja lalu menawarkannya kepadaku. "Mau?"
Aku bergidik. "Nggak Line, gue lagi nggak pengin makan."
"Ooh." Eline kembali meletakan cokelat di atas meja.
Aku membuka pintu menuju balkon kamar Eline. "Ikut gue Line."
Eline mendengus. "Ya elah kenapa harus di balkon sih. Dingin tahu," keluh Eline tapi dia tetap saja mengikutiku.
Kami duduk di lantai balkon. Gemerlapan kota selalu saja indah disaksikan dari atas sini. Bulan yang nyaris bulat masih menggantung di langit malam, kini beberapa bintang muncul membuat hawa menjadi dingin.
Eline menghela napas lalu menoleh ke arahku yang tengah mendongak. "Mau ngomong apa?"
Aku mengusap lenganku memang sedikit dingin di luar sini walau aku memakai piyama panjang. "Dari dulu kita sering rebutan sesuatu kan Line."
Eline mendesah. "Ya gitu. Kadang gue yang dapet terkadang lo yang dapet. Ngeselin kalau gue nggak dapet."
"Gue juga kesel kalau nggak dapet. Atau tambah kesel lagi kalau papa ikut campur dan berakhir kena marah, iya nggak?" Aku menoleh ke arah Eline, Eline mengangguk.
Eline menarik napas panjang. "Gue sekarang udah mulai belajar menerima, kok, kalau lo ngedapetin apa yang kita rebutin. Seperti lo ngedapatin Argam."
Aku terkekeh. "Beneran?"
Eline menatapku aneh. "Beneran lah. Nggak percaya ya sudah," ucapnya seperti bocah yang sedang ngambek.
Aku kembali mendongak menatap langit. "Gue nggak jadian sama Argam."
Sontak Eline menatapku. "APA?! Lo ngomong apa tadi?" kagetnya tidak percaya.
Aku balas menatap Eline. "Gue nggak jadian sama Argam Line," ucapku kedua kalinya.
Dahi Eline berkerut, dia tampak kebingungan. "Kenapa, bukannya lo suka juga sama Argam?"