Dress merah polos melekat pas di tubuhku. Sepatu flat berpita manis kesukaanku selalu terlihat cocok di kakiku. Rambutku yang biasanya tergerai, kini terikat satu di belakang, namun terdapat dua motif kepangan sebagai hiasan. Aku akan mendapatkan penghargaan dari hasil latihan jerit payahku selama ini, itu mengapa aku harus berpenampilan menarik.
Aku menggigit bibir bawahku sambil melirik jam dinding kamarku. Jam tujuh lebih lima puluh delapan menit. Dua menit lagi tepat jam delapan. Waktu di mana Lucas mengajakku ketemuan. Mencoba mengabaikan, aku memilih pergi ke dapur untuk sarapan dan berakhir mengambil roti tawar dan setopples selai yang masih tersegel.
Aku mulai membuka setopples selai, mencukilnya menggunakan sendok. Berdecak kesal saat kaleng tidak berhasil kubuka. Tidak menyerah kali ini aku menggunakan pisau untuk mencukil tutup toples, tapi nihil tidak bisa terbuka. Rasanya aku ingin membanting setopples selai sialan ini. Menghela napas, aku kembali berusaha membuka tutup toples menggunakan pisau dengan tidak sabaran hingga pisau tak sengaja menggores kulit telapak tanganku.
Aku meringis kesakitan sambil melempar setopples selai ke meja hingga menimbulkan bunyi praang. Aku menjerit frustasi.
"Kak lo gila! Mejanya bisa pecah." Entah semenjak kapan Eline berada di dapur menyaksikanku. Aku tidak menyadari itu.
Aku tidak menanggapi ucapan Eline. Yang aku lakukan hanya mengerang kesakitan sambil mengibaskan-ibaskan tanganku yang terluka. Entah kenapa aku jadi sangat kesal dengan masalah sepele. Hingga rasanya aku ingin menangis.
Eline berjalan menghampiriku. Meraih telapak tanganku yang terluka. "Bego, tangan lo berdarah." Dia menggiringku menuju wastafel.
Entah kenapa tiba-tiba air mata menetes dari pelupuk mataku. Aku menangis. Aku tidak pernah menangis hanya kerena luka yang tidak seberapa ini. Aku benar-benar tidak tahu kenapa aku menangis— mungkin aku tahu, tapi aku tidak mau mengakui kenapa aku menangis.
Eline berdecak sambil mencuci darahku di wastafel. "Udah deh Kak nggak usah cengeng. Gue tahu lo nangis bukan karena luka yang nggak seberapa ini. Lo nangis karena Kak Lucas mau pergi jauh kan? Dan dengan egoisnya, lo nggak mau menemui dia!"
Aku mengahapus air mataku menggunakan tangan kiri lalu menatap kesal ke arah Eline. "Jangan konyol deh Lin! Gue nggak nangisin Kak Lucas nggak kok!"
Eline memutar bola matanya malas sambil mengambil plester untuk menutupi lukaku. "Lo bohong Kak!" bantahnya sambil memasang plester di telapak tanganku.
"Gu ... gue ngomong jujur." Aku berusaha terlihat jujur namun nyatanya aku gelagapan dan terlihat berbohong.
Eline tersenyum mengejek. "Sekarang udah jam delapan lebih Kak. Masih ada waktu buat lo menemui Kak Lucas. Atau lo bakal nyesel!"
Aku terdiam, menunduk. Air mata kembali lepas dari pelupuk mataku. Aku menangis terisak. "Gue nggak suka perpisahan Line! Apalagi perpisahan mendadak kayak gini." Aku berusaha menghapus air mataku menggenakan lenganku.
Eline meraih kedua lenganku. "Semua orang nggak suka perpisahan Kak. Bukan lo aja bego!" Eline menghela napas. "Sekarang nggak ada gunanya buat nangis, lebih baik temui dia sekarang deh daripada nantinya lo nyesel."
Aku menatap tepat ke dalam mata Eline. Perkataan Eline kali ini ada benarnya. Tidak ada gunanya aku menangis. Aku harus menemui Lucas. Aku tidak mau menyesal.
Aku begitu saja menarik tangan Eline. "Temenin gue," ucapku sambil melangkah cepat.
Eline mendengkus. "Apa boleh buat," jawabnya.