š„š„ Hadirmu hanya sekilas tetapi membekas š„š„
***
Sesampainya di depan kedai es krim yang cukup sepi, aku begitu saja menjatuhkan payungku. Berlari menuju ke dalam kedai es krim seperti orang kesetanan, napasku terengah-engah. Kusapu pandang ke seluruh ruangan yang lumayan luas. Dadaku berdebar hebat, ada rasa takut saat bola mataku sama sekali tidak mendapati Lucas di antara pengunjung lainnya.
Beberapa orang yang melewatiku, menatapku aneh. Aneh karena penampilanku sudah acak-acakan. Rambut agak berantakan, mata sedikit sembab, gaunku pun masih meneteskan air hujan. Tapi aku sama sekali tidak peduli. Kulirik jam tangan menunjukan pukul 09:00 WIB. Itu berarti Lucas sudah menungguku selama satu jam. Apa dia sudah pergi? Demi apa pun hatiku terasa sesak.
Dengan pelan-pelan, aku melangkah mundur, sedangkan mataku tidak berpaling masih mencari-cari Lucas di antara beberapa pengunjung. Mataku berubah sayu, Lucas tidak ada di sini. Sontak aku membalikan badan, berlari keluar kedai es krim, barangkali Lucas masih di sekitar sini. Cairan hangat kembali terbendung di balik kelopak mataku.
Aku kembali menghentikan langkah di depan kedai es krim dengan napas tersengal, sementara mataku mencari-cari Lucas di sekitar sana. Tapi apa yang aku dapat, hanya orang-orang yang berlalu lalang membawa payung, kendaraan melintas ke sana kemari. Hujan semakin deras membuat suasana semakin dramatis. Aku sama sekali tidak menyukai suasana ini. Sama sekali tidak.
Aku menunduk. Lucas tidak ada di sini. Dia sudah pulang ke rumah dan mungkin sebentar lagi dia akan pergi jauh, sangat jauh. Tidak ada waktu bagiku untuk mengunjungi rumahnya. Aku harus pulang, mengganti gaun lalu mendatangi acara penyerahan piala yang diadakan tepat pukul 10:00.
Air mata sialan itu kembali jatuh dari pelupuk mataku. Aku menangis terisak namun beruntung suara derasnya air hujan menyamarkan tangisku. Aku berjongkok, menangis tergugu sendirian di depan tepi kedai es krim yang sepi, sesekali air hujan mengenai tubuhku.
"Selamat tinggal Kak. Selamat tinggal," cicitku sambil menangis, dalam hati aku ingin sekali menertawakan diriku yang seperti orang bodoh, dan nyaris tersenyum kecut seperti orang gila, tapi bahkan aku tidak bisa bersikap realistis.
Menghembuskan napas, aku kembali menatap rintik hujan yang terus turun membasahi tanah. Tatapanku berubah nanar, air mata terus saja mengalir tanpa aku minta. Aku tahu setelah dia pergi, waktu akan terus berjalan begitupun dengan hidupku. Kenangan bersamanya perlahan pasti akan memudar, lenyap bersama dengan pergantian waktu.
Tenang saja, kau tak perlu khawatir karena perasaanku kepadamu secara perlahan pasti akan layu terkikis oleh waktu. Perpisahan yang pelik ini tanpa ada kata ataupun janji, hanya meninggalkan luka dan tanda tanya, suatu saat akan lenyap bersamaan dengan perputaran waktu. Karena waktu dapat menyembuhkan segalanya.
Aku menghapus air mataku sambil bangkit. Untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan tempat ini, aku kembali membatin mengucapkanĀ perpisahan konyol. Aku tersenyum, tapi senyumku jelas saja tersirat kepedihan yang mendalam. "Selamat tinggal Kak. Tanpa ada janji ataupun kata inilah perpisahan kita," batinku, air mataku kembali menetes membasahi kedua pipiku.
Aku mulai melangkah namun langkahku menjadi berat. Ada sebuah tangan yang meraih lenganku, tidak membiarkanku untuk pergi. Aku menghentikan langkah, dan untuk sesaat semuanya terasa begitu hening, seolah-olah ada sesuatu yang menarikku ke dalam ruang kosong. Tidak ada suara apa pun yang bisa kudengar selain bunyi hujan dan suara degup jantungku sendiri. Namun momen itu hanya terjadi beberapa saat, kemudian aku tersadar ketika dia memanggilku.
Dia memang Lucas.
"Die," panggilnya lagi yang membuat kedua sudut atas bibirku terangkat membentuk senyuman. Sontak aku membalikan badan, dan tanpa sadar aku begitu saja memeluk Lucas. Aku menangis terisak di dekapannya.
Tidak butuh waktu lama aku tersadar, kemudian cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi pipiku sambil melepaskan pelukanku kepada Lucas. Aku menunduk dengan wajah bersemu merah, jelas terlihat aku tengah malu. Menyebalkan.
Diam-diam Lucas tersenyum. Tangan kanannya menyentuh bahuku seolah dia menyuruhku untuk balas menatapnya. Kini aku sudah balik menatap kedua manik mata hitamnya yang indah. Tatapanku berubah tajam, aku pura-pura marah kepadanya, dia mengernyitkan dahi.
"Jangan marah gitu lah Die," ucapnya dengan ekspresi datar membuatku mendesah. Aku benar-benar kesal kepadanya, bagaimana nggak kesal? aku sudah nangis-nangis sedih gini Lucas tetap saja memasang wajah datar. Sedih sedikit kek, atau apa. Dasar manusia es tanpa ekspresi!
"Katanya ketemuannya jam delapan. Kok Kakak malah baru datang!" kesalku.
Bukannya menjawab ucapanku, Lucas malah memperhatikan gaunku. "Lo habis hujan-hujanan Die?"
"Jawab dulu pertanyaan gue yang tadi Kak," ketusku.
Lucas tetap diam, membuat mataku kembali menatap tepat ke arah matanya. Aku mengerjap saat Lucas melepaskan jaket hitam miliknya, lalu begitu saja ia pakaikan jaketnya kepadaku. Aku dibuat mematung dengan wajah bersemu merah, dadaku berdebar hebat. Cara Lucas memakaikan jaket di tubuhku benar-benar meluluhkan hati. Oh Tuhan bagaimana aku nggak sedih ditinggal orang seperti ini?
Lucas tersenyum kalem saat sudah selesai memakaikan aku jaket. "Biar nggak kedinginan Die," ucapnya.
Aku mengerjap. "Ehm. Iya. Makasih Kak."
Lucas mengangguk. "Kita masuk ke dalam kedai?"
Aku mengangguk lalu berjalan beriringan menuju ke dalam kedai es krim.
"Kalau tahu mau hujan gini, kita ketemuannya jangan di kedai es krim." Lucas terkekeh membuatku mengangguk sambil tersenyum.
"Nggak papa kok Kak. Udah terlanjur," jawabku akhirnya. Lucas hanya mengangguk.
Kami duduk berjejeran tepat menghadap ke luar jendela kaca. Dua pesanan es krim datang.
Aku mulai memakan es krim. "Tadi kenapa Kakak baru datang?"
Lucas menelan es krim lalu balas menatapku. "Gue datang udah dari tadi, cuma tadi mampir ke Mall sebelah."