“KENA!”
“William jaga!”
“Ah, licik di kasih tau Lily!”
“Udah, buruan jaga!” Didorongnya kuat tubuh William hingga nyaris terjungkal, oleh seorang gadis yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil darinya. Lily.
“Iya-iya!” William berdecak kesal. “Satu, dua, tiga…
Gadis bernama Lily lantas berlari mencari tempat persembunyian yang aman. Dia terus mencari ke sekeliling. Sayangnya, tempat-tempat yang hendak dituju sudah terisi anak lainnya. Lily terus mencari, hingga langkahnya tertuju pada sebuah lemari besar yang sudah lapuk.
“LIMA PULUH! Dimana kalian anak-anak nakal!” pekik William dikejauhan.
Lily mulai panik. Meski enggan, dia lantas masuk ke dalam lemari, menghindari William yang sedang mencarinya.
“KENA!” Satu persatu, anak–anak lain mulai ditemukan. William masih mencari. Lalu menemukan satu anak lainnya dibalik pintu kamar.
“ABEL!” William dan Abel berlarian menuju tiang yang menjadi titik penjagaannya. Sayangnya, tubuh William yang kurus berlari lebih cepat dari Abel yang lebih gempal.
“Tinggal siapa, nih?”
“Lily belum ketemu! Kalau Lily muncul duluan, kamu jaga lagi Will!” pekik anak lainnya.
Wajah William terlihat meremehkan Lily, si anak perempuan satu-satunya yang bermain dengan mereka, mustahil dapat memenangkan permainan. “Lily, kamu dimana? Aku akan menemukanmu,” ucapnya dengan nada mengejek.
Keringat dingin mulai membasahi kening, mengalir ke setiap titik wajah seorang gadis yang berada di dalam lemari. Sesekali mata hitam bulatnya mengintip di celah-celah. Memastikan apakah keadaan di luar sana aman atau malah sebaliknya. Kedua matanya tak menemukan apapun diluar sana. Lega rasanya, saat mengetahui tak seorangpun disana.
Aman! pikirnya.
Untuk memastikan, gadis itu mencoba mengintip sekali lagi melalui celah lemari yang menjadi tempat persembunyiannya.
Namun, tiba-tiba semua gelap!
Mata hitamnya semakin membulat karena terkejut. Keringat yang telah disekanya kembali mengalir deras di dahinya. Wajahnya mulai pucat. Jantungnya berdegup layaknya ditabuh penabuh drum amatir. Dan, tepat pada saat dia kembali mengintip, lemari itu terbuka.
Lily mendongak.
“KENA!!!” pekik seorang anak laki-laki dengan seringai senyuman khas di bibirnya.
Sekali lagi helaan nafas. Tanda menyerah. Anak lelaki itu jelas berlari lebih cepat dari dirinya hingga sampai ke titik penjagaannya.
“Aku capek!” keluh Lily.
William menghampirinya lalu menunjuk wajahnya dengan kasar. “Kamu! Selalu kayak gitu kalau kalah. Dasar licik!”
Anak perempuan itu menepis telunjuk yang ada di depannya, tak kalah kasar. “Kamu pikir kita sudah main berapa lama? Ibu bisa marah kalau aku pulang telat! Aku juga nggak bilang kalau…” dia menggigit bibir bawahnya, ragu, “…kalau aku mau main sama kamu,” getirnya.