Hi, Ly!

Regina Mega P
Chapter #2

Tragedi

Lily menghirup aroma malam dingin yang terasa menyegarkan. Dia selalu melakukannya hampir setiap malam, sebelum tidur. Dulu, saat almarhum Papa masih hidup, beliau selalu membacakan dongeng sebelum tidur sambil menikmati malam berdua bersamanya. Menghirup udara malam sebanyak-banyaknya, lalu tertidur saat merasa puas. Sekarang, meski Papa sudah tiada, Lily tetap melakukan ritual malamnya yang selalu membuatnya merasa dekat dengan sang Papa. Meski terkadang, ada saja berbagai macam gangguan yang membuatnya harus mengakhiri acara romantisnya dengan malam. Seperti saat ini.

“Tutup jendelanya, Ly! Banyak nyamuk.” Ibu selalu datang disaat yang tidak tepat.

Lily mendengus kesal, namun dia tetap menuruti apapun perintah Ibunya sesuai dengan janjinya pada Papa. Lily lantas naik ke tempat tidur, menarik selimut lalu mematikan lampu utama digantikan lampu tumblr warna-warni disetiap sudut kamar yang menerangi tidurnya.

Good night. Love you!”

“Tapi Ibu galak!”

That’s because I love you, I care of you. Ibu nggak mungkin diam saja kalau kamu buat masalah. Ibu mau kamu jadi anak yang baik, yang nurut sama orang tua dan nggak aneh-aneh kelakuannya.”

“Kelakukanku nggak ada yang aneh, Bu. Ibu aja yang terlalu ribet bikin peraturan yang aneh-aneh. Nggak boleh itulah, nggak boleh inilah.”

Ibu menghela napas. Anak itu memang sulit dinasehati. “Kamu mau Ibu kayak orang tuanya William yang nggak peduli sama anaknya dan bikin anaknya jadi liar kayak gitu? Kamu maunya Ibu kayak gitu?”

“Ya, nggak gitu juga.”

“Makanya, nurut! Kalau Ibu bilang tidur, ya tidur!” Ibu menarik selimut Lily hingga nyaris menutupi wajahnya. “Kita cuma tinggal berdua, Ly. Kita cuma punya satu sama lain. Ibu harap kamu bisa mengerti. Semua yang Ibu lakukan untuk kebaikan kamu.”

Lily mengangguk paham. Melihat wajah Ibu yang letih setiap pulang kerja, kadang membuatnya iba. Sesekali Lily berfikir untuk menjadi cepat besar agar bisa membantunya mencari uang untuk menghidupi keduanya.

Nice dream, sweetheart.”

Setelah memastikan Ibu keluar dari kamarnya, Lily kemudian berusaha menutup matanya dan tidur.

Tak

Tak

Tak

Sialnya suara jam berdetak membuatnya sulit memejamkan mata dan mengurungkan niatnya untuk tidur. Lily bangun dari tempat tidurnya lantas kembali membuka jendela kamar, menatap langit yang mulai pekat. Rasanya perasaan lelah, kesal, yang dia rasakan hari ini dapat menguar dari tubuhnya bersama hembusan angin malam yang menyejukkan. Meski sedikit mendung, hembusan angin dingin yang menyapa wajahnya tampaknya ikut andil membuat moodnya kembali baik. Andai Papa masih ada, dia pasti nemenin aku disini.

“Hai!”

“ASTAGA!”

Seorang anak laki-laki dengan mata coklat mudanya mengejutkan Lily yang tengah asyik dengan langitnya. William terkekeh geli melihat reaksi Lily yang ketakutan.

“Dasar penakut!” ujarnya.

Lily membuang wajahnya. Kejutan yang anak itu berikan benar-benar tidak membuatnya bahagia.

“Ngapain di sini?” tanyanya setengah berbisik. Dia tak ingin menambah masalah jika Ibunya tau kalau Lily bertemu dengan anak yang dibenci sekomplek raya menemuinya, hampir tengah malam.

“Ikut aku, yuk!” ajaknya.

“Enggak! Ngapain?” tanyanya dengan kening mengerut.

“Nanti juga tau. Ayo!”

“Enggak, ah! Kalau sampai Ibu tau aku pergi, bisa-bisa aku di usir dari rumah. Apalagi perginya sama kamu.”

“Ya, nggak apa-apa. Aku juga diusir.”

Lily terkejut saat mendengar ucapannya. “Kenapa?”

“Daripada mati ditangan Ayah, mending pergi.”

Kedua matanya menangkap beberapa memar di lengan dan dahinya, juga luka lecet diujung bibirnya. “Kamu…”

William berusaha mengalihkan wajahnya dari Lily. “Kalau nggak mau ikut, nggak apa-apa aku sendiri aja.”

“Eh! Tunggu!” Lily lantas melompati jendelanya yang terhubung dengan teras samping dan menembus ke jalan utama. Anak laki-laki itu bahkan nekat melompati pagar rumah Lily yang dikunci untuk sekadar bisa menemuinya. Dan anak perempuan itupun melakukan hal yang sama, saat pergi bersamanya.

Good! Gitu, dong prajurit!”

“Siapa juga yang mau jadi prajurit kamu!”

William masih tersenyum namun tak lagi bicara. Dia lantas berlari kecil menjauh dari rumah Lily menuju tempat yang akan dia tuju.

“Kemana, sih?” Lily terus mengikuti langkah Will. Sedangkan anak laki-laki itu berjalan cukup cepat, meninggalkan Lily yang masih jauh di belakangnya. Beberapa kali gadis itu berlari kecil berusaha mensejajarkan langkahnya.

Lily masih berjalan, saat tiba-tiba langkah William terhenti. Sayangnya hal tersebut telat disadari oleh Lily yang masih saja terus berjalan di belakang Will, hingga dia menubruk punggungnya, dan nyaris membuat anak laki-laki itu tersungkur.

“Heh! Nggak punya mata?”

Lihat selengkapnya