7 tahun kemudian.
“Lily, Bangun!”
Gadis itu tersentak, lantas merenggangkan tubuhnya. Membuat suara halus yang berasal dari otot tubuhnya berbunyi. Tangannya menggosok kedua matanya. Membersihkan kotoran yang ada di sela-selanya, lalu menguap.
Besar sekali!
“Ibu nggak mau, ya kalau sampai di panggil wali kelas lagi gara-gara telat!” pekik Ibunya saat membuka pintu kamar gadis itu.
Lily mendengus kesal. Dia masih sangat mengantuk karena semalam kucingnya tiba-tiba sesak napas, hingga harus membawanya ke dokter hewan. Untungnya, Lily sudah berlangganan dengan salah satu dokter hewan yang berada tiga blok dari rumahnya. Jadi, tak masalah menurutnya, jika dia mengetuk pintu rumah dokter itu jam satu dini hari hanya untuk memeriksakan tulang ayam yang tersangkut di kerongkongannya (kata dokter, kucing itu menelan tulang ayam).
“Pagi, Cello!” Lily mengelus leher kucing kesayangannya, lantas membawanya dalam dekapan. Seolah mengerti dengan apa yang dikatakannya, kucing itu mengeong dan menggosokan tubuhnya pada gadis itu. Sekilas Lily menatap keluar jendela. Pandangannya lurus menembus cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamarnya. Padahal masih pagi, tapi udah panas banget! Pikirnya.
“Mandi, Ly!”
“Okay!” Lily bergegas menuju kamar mandi. Dia baru ingat kalau hari ini dia akan menghadapi ulangan matematika yang langsung menurunkan moodnya saat ini.
*
“Kamu nggak sarapan dulu?”
“Nih, udah!” ucapnya sambil mengacungkan gelas susu yang hendak di minumnya. “Hari ini aku pulang telat. Mau nemenin Layla ke toko buku.”
“Temannya Layla emang cuma kamu? Ibu baru mau minta temenin belanja.”
Lily mengangguk pasti. “Kami cuma punya satu sama lain di kelas, Bu. Ibu biasanya juga belanja sendiri. Katanya kalau belanja sama aku ribet. Banyak mau…”
“Iya, sih emang! Ya, udah ibu belanja sendiri aja kalau gitu.”
“Nah, lebih baik begitu, kan. Sekalian me time, ibu bisa ke salon atau perawatan wajah. Aku nggak akan ganggu waktu ibu, kok!” Lily menghampiri Ibunya lantas menciumi wajahnya, gemas. “Bye, kesayangan aku.”
“Ly.”
“Yup!”
“Setahun lagi, kan kamu lulus. Biar ada kenangannya, coba buka hati untuk teman-teman yang lain. Masa SMA itu, masa paling indah loh! Jangan sampai kamu menyesal nanti.”
Gadis itu kini menggeleng. “Nggak ada yang bisa kupercaya selain Layla, Bu.”
Wina, Ibu Lily menghela napas. Dia jelas sangat mengerti, apa yang membuat putri semata wayangnya tak memiliki banyak teman. Seberapapun dia berusaha, anak itu tetap tak akan bisa menerima orang lain, selain Layla menjadi temannya.
“Aku berangkat, ya!”
“Hati-hati!”
Berhubung langit cukup cerah, Lily memilih berjalan kaki menuju sekolahnya daripada menaiki sepeda seperti biasa. Jarak antara sekolah dan rumahnya tidak terlalu jauh, sekitar lima ratus meter kurang lebih. Melewati lapangan, arena bermain, kebun bunga dan sebuah rumah kosong berlantai dua berwarna putih dengan kusen yang sudah using dan ilalang disekitarnya. Lily selalu menyempatkan diri sejenak berdiri di depannya. Berharap seseorang di dalamnya menyapa dan menghampiri lalu pergi sekolah bersama. Sayangnya, tidak ada siapapun disana sejak tujuh tahun lalu. Dan setelahnya, Lily kembali berjalan menuju sekolah dengan hati penuh harap. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Di tengah perjalanan, dia melihat seorang gadis lain dengan seragam yang sama dengannya sedang membaca buku sambil berjalan. Dia sangat benci saat gadis itu melakukan hal yang mungkin akan membahayakannya. Bagaimana jika ada lubang di depannya saat dia sedang membaca lalu terperosok ke dalamnya dan tak ada seorangpun yang memerhatikannya? Lily lantas berlari menghampirinya, untuk menjaganya dari segala kemungkinan.