Hi, Ly!

Regina Mega P
Chapter #4

Masih Sama

Bel istirahat berbunyi. Hari ini Lily enggan pergi ke kantin karena moodnya yang mendadak hilang sesaat setelah melihat anak baru itu muncul. Dia meminta Layla untuk membelikannya snack dan minuman dingin di kantin. Musik yang keluar dari headset terdengar pelan di telinga. Lily lantas menyadarkan kepalanya di meja. Wajahnya lekat menatap tembok putih dihadapannya. Sekelibat bayangan masa lalu kembali mengusik pikiran. Dia sangat yakin kalau anak baru itu adalah anak yang meninggalkannya sendirian di sebuah rumah yang gelap dan sepi, tujuh tahun yang lalu. Bahkan seorang pria dewasa yang tak dikenal, nyaris melecehkan dirinya. Beruntung Tuhan masih mengijinkannya hidup meski sempat koma karena kehilangan banyak darah. Lily berusaha memejamkan mata saat ingatannya memutar terlalu jauh. Luka dan trauma yang dia rasakan masih sangat sulit untuk dilupakan.

“Maaf.”

Suara yang sedikit berat terdengar di telinganya. Lily pura-pura tak mendengar. Padahal, suara itu sangat jelas di kedua telingnya.

“Halo. Maaf ganggu. Saya mau tanya, boleh?”

Lily menaikan volume musik hingga tanpa sadar sayup-sayup suara musiknya terdengar oleh laki-laki itu, saking kerasnya.

Mengetahui gadis disampingnya tak ingin berkomunikasi dengannya, anak lelaki itu mengurungkan niat untuk beramah tamah.

“Lho, William. Kamu ngapain disini?” Layla datang membawa sekantung makanan untuk sahabatnya. Dia sedikit terkejut saat melihat William ada di tempat duduknya.

Lelaki itu sedikit gugup. "Oh, ah... tadinya, mau tanya-tanya tentang sekolah sekalian kenalan. Tapi kayaknya lagi nggak bisa di ganggu, ya. Dia lagi sakit?”

“Alah! Dia memang suka begitu.” Layla menyimpan beberapa snack di meja, kemudian mengambil ponsel di saku rok dan menekan sebuah nama pada layar ponselnya. “Lily!” pekik Layla. Dia sengaja menelpon agar Lily mau memehatikan.

Gadis itu tak sengaja mengangkat panggilan Layla, lantas membuka headsetnya dan membalikkan tubuhnya.

DEG!

Sebuah rasa yang selama ini dipendamnya, membuncah saat wajah lelaki yang sangat dia kenal hanya berjarak beberapa meter dari wajahnya. Lily jelas masih mengingat dua mata coklat terang, alis yang hampir menyatu, dan beberapa freckles dikedua pipinya, yang hanya bisa terlihat jelas jika berada sedekat ini. Juga cara dia tersenyum dengan kedua mata yang seolah ikut tersenyum, lengkap dengan lesung dibawah mata dan pipi kanannya. Hanya saja, rahangnya sedikit lebih kokoh dibanding dulu. Lelaki itu banyak berubah, dibanding Lily yang masih tetap sama. William yang sekarang bahkan terlihat lebih dewasa.

“Lily?” Sebuah nama yang mampu menggetarkan seluruh tubuhnya. Tapi William masih tak yakin, kalau gadis dihadapannya itu benar-benar Lily, anak perempuan, teman masa kecilnya. Tanpa sadar tangannya terangkat dan nyaris menyentuh wajah Lily.

Lihat selengkapnya