Hi, Ly!

Regina Mega P
Chapter #6

Long Time no See

Pelajaran hari ini berakhir dengan menyenangkan. Bagaimana tidak, tak ada seorang pun guru yang memberikan tugas tambahan untuk dikerjakan di rumah. Tentu saja, hal ini adalah salah satu hal yang paling ditunggu oleh seluruh siswa di manapun, kecuali orang-orang seperti Bagas. Satu-satunya yang kesal karena tak ada satupun tugas yang harus dia kerjakan di rumah, yang memang lebih suka disibukkan dengan tugas daripada duduk diam.

Di sisi lain, mood Lily mulai membaik setelah bertemu dengan William di taman tadi. Meskipun pertemuan mereka penuh dengan ketegangan, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

“Kalau kayak gini terus, bisa-bisa gue jadi bodoh!” ucapnya pada teman sebangku. Tentu saja dengan suara yang menggelegar yang membuat seluruh penghuni kelas mendengar ocehannya.

"Bisa nggak sih orang kayak dia musnah aja!"

"HUSH! Kasian tau dia butuh validasi. Biarin aja! Kamu kemana selama istirahat tadi?” Layla bertanya. Tangannya masih cukup sibuk menyimpan buku juga peralatan tulisnya ke dalam tas.

“Di taman,” jawab Lily datar.

“Fanny nggak balik ke kelas setelah kamu ngatain dia kayak gitu. Ya emang sih, kata-kata kamu itu agak berlebihan.”

Dia juga sama. Berlebihan ngatain nama gue dan ngatain lo. Hanya dalam hati. Lagipula, menurutnya semua yang dia katakan pada gadis itu memang benar. Fanny sudah pantas disejajarkan dengan barang bekas karena sikapnya yang selalu bergonta-ganti pasangan. Dan setelah mereka menikmatinya, dia dibuang begitu saja seperti sampah. Sudah cukup sering anak-anak di kelas mendengar atau melihat Fanny menangis karena hal-hal spele seperti cinta. Ini menurut Lily, yang jelas belum pernah merasakan apa itu cinta selain dari Ibu dan sahabatnya, Layla.

“Lo harus minta maaf sama dia, Ly.” Layla kembali menasihatinya. Ah, bahkan kali ini menyuruhnya untuk minta maaf, yang jelas tak akan pernah dilakukannya.

“Gue balik, ya.”

“Wah! Kalau gitu, Layla bisa pulang sama aku, dong!” Bagas mendadak berdiri di samping meja mereka berdua dengan wajah yang berbinar dan penuh harap.

“Terserah,” ucap Lily datar, lalu pergi meninggalkan keduanya.

“Dia masih aja cuek!”

"Lo beneran suka sama Lily?” Layla memandangnya keheranan.

Laki-laki itu tersenyum. “Iya.” Bagas kemudian mengambil tas Layla, berniat mengantarnya pulang. “Ayo gue antar pulang. Tapi ceritain tentang Lily, ya!”

“Ihhh!” Layla kemudian mengambil tas yang di ambil Bagas, lalu meninggalkannya yang masih terus memohon. Mereka tidak sadar, seseorang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya.

*

Lily melangkahkan kakinya pelan. Sudah hampir setengah jam dia berputar-putar, bukan menuju rumahnya. Lily bahkan tak tau kemana kaki akan membawanya. Nyatanya, meski dia bersikap tak acuh pada ucapan sahabatnya itu, otaknya terus memikirkan betapa kasar ucapannya pada Fanny. Sejak SMP dia sudah biasa dirundung teman-temannya yang iri pada Lily hanya karena di menolak seorang laki-laki popular di sekolah. Bukan karena dia tidak suka, tapi karena Lily ketakutan saat anak itu tiba-tiba memegang tubuhnya. Hingga akhirnya, tanpa sadar Lily memukulnya telak di wajahnya. Membuatnya harus berurusan dengan guru BK hingga berakhir teman-temannya yang lain ikut merundungnya dengan berusaha menyentuh tubuhnya, meski berkali-kali Lily menolak.

Tapi, kali ini Fanny membawa namanya. Nama cantik yang diberikan oleh almarhum Papa, yang paling dia cintai. Siapapun jelas tak akan terima jika namanya dijadikan bahan ejekan.

Lihat selengkapnya