Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan maaf darimu?
Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Sekalipun Lily berusaha menyumpalnya dengan bantal, ucapan William seolah sengaja mengejek dan terus berputar di kepalanya. Terkadang, Lily sendiri bingung dengan keinginannya. Apa yang sebenarnya dia harapkan dari pertemuan ini? Apakah kata maaf saja cukup untuk menggantikan kekecewaan yang bertahun-tahun ia pendam?
Dulu, Lily pernah sengaja tidur di teras rumahnya, berharap William dan keluarganya akan kembali dari perjalanan panjang mereka. Dia membayangkan mereka akan menemuinya, menjelaskan segalanya—tentang malam itu, tentang apa yang terjadi setelahnya. Dia ingin mereka datang, tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk ibunya, yang terlanjur membenci mereka. Setelah itu, mereka bisa kembali berteman seperti dulu, seolah tak pernah ada luka.
Tapi kenyataannya, selama apa pun Lily menunggu, mereka tak pernah kembali. Tak sekalipun muncul, bahkan sekadar untuk mengambil barang yang tertinggal atau menunjukkan diri di hadapannya. Sejak saat itu, Lily seolah dipaksa menelan mentah-mentah kekecewaan dari harapan yang tak pernah terwujud.
“Ly.”
Lily terperanjat saat melihat Ibunya berdiri di balik pintu.
“Ibu mau pergi buat ambil barang di supplier. Mereka nggak bisa kirim karena ada masalah di jasa pengiriman. Kalau mau makan, Ibu udah buatin makan malam buat kamu. Mau titip sesuatu nggak?” tanya Ibu.
“Pizza, boleh?” jawabnya dengan membubuhkan pertanyaan lain, kalau-kalau Ibunya tidak setuju dengan pesanan pizza yang akan di makan setelah makan malam.
Ibunya tersenyum. “Boleh.”
“Ibu pergi sendiri?”
“Enggak, ada karyawan yang nemenin. Ibu pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa hubungi Ibu.”
“Sip! Hati-hati.”
Lily kembali berkutat dengan ponselnya. Berselancar di media sosial saat sedang sendirian seperti ini membuatnya sedikit melupakan kata-kata yang sejak tadi membelenggu pikirannya. Namun, tiba-tiba saja Lily memikirkan hal yang seharusnya tak perlu dia pikirkan, yang sedikit menganggu pikirannya saat ini. Bagaimana jika Ibu tau, kalau William saat ini sekelas dengannya? Mengingat Lily pernah dibentak beberapa kali saat bertanya keberadaan anak laki-laki itu pada Ibunya. Puncaknya, saat Lily bersikeras memaksa Ibu untuk memberitahu kemana William pergi, Ibunya menangis histeris. Berkali-kali meminta Lily untuk tidak pernah mengungkit keberadaannya. Sampai akhirnya Ibu mendoakan lelaki itu mati lantaran nyaris membuatnya kehilangan satu-satunya harta paling berharga di hidupnya. Sejak saat itu, Lily berjanji untuk tidak pernah mengungkitnya lagi dan menganggap William sudah mati di hadapan Ibunya. Meski dalam hati kecilnya, gadis itu selalu mendoakan sahabat kecilnya hidup lebih lama dari dirinya.
Lily berusaha tersadar dari bayangan tentang William. Dia kembali berkutat dengan gawainya. Berselancar mencari sedikit alasan untuknya tertawa dari video yang ditampilkan di feed. Beruntung video kucing hadir dalam beranda, membuatnya tersenyum. Jenis kucing yang terekam, warna juga kelakuan anehnya mirip sekali dengan Cello. Membuat moodnya perlahan kembali normal seperti sediakala. Baru saja Lily memperbaiki moodnya, suara ketukan yang muncul dari jendela kamar, mengejutkannya. Beberapa kali Lily memastikan kalau suara itu berasal dari Cello yang sedang bermain di halaman rumah. Kebetulan halaman kamar yang dulu menghadap langsung ke jalan, kini sudah dirombak Ibunya dengan menambahkan sedikit space dan tembok agar kucingnya bisa berkeliaran di sekitar rumah, tanpa takut kabur ke jalan.
Sialnya, ketukan itu terdengar berkali-kali dan sedikit membuatnya takut. Apalagi saat Lily melihat siluet tubuh seseorang yang terpantul melalui gorden jendelanya. Membuat bulu kudukknya mulai berdiri.
“Ly, ini aku.” Suara yang tak asing di telinga.
Meski sedikit tidak yakin, tapi dia mulai merasa lega saat mendengar suaranya.
“Tolong buka!”