Sepulang sekolah wajahnya terlihat lelah. Dipikirannya saat ini hanya ada lelaki yang tanpa sadar diikutinya sampai ke rumah. Untung saja, Ibu sedang tak ada di rumah. Jadi, tak perlu bersusah payah menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan Ibu saat melihat wajahnya merengut. Gadis itu sudah mengganti bajunya dengan kaos berkerah rendah berwarna biru muda dan celana jeans selutut. Lily lantas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya fokus menatap langit-langit kamar. Pikirannya mulai meracau. Kejadian seperempat siang itu sedikit membuatnya gelisah. Bagaimana bisa dia mengikuti William sampai sejauh itu? Dan juga sentuhan tangan yang terasa hangat saat William menyentuh tangannya. Lagi-lagi William tidak membuatnya gemetar seperti saat Bagas menyentuhnya dulu. Bahkan, degup jantungnya sempat berdebar tak keruan.
Lily mengubah posisinya menghadap tembok dengan guling dalam pelukannya. Hatinya masih gelisah. Wajah panik lelaki itu memenuhi pikirannya saat ini. Will melarang keras Lily datang ke rumahnya. Entah apa maksud dari pernyataannya, namun hal itu jelas membuatnya penasaran. Apa yang salah dengan dirinya hingga sampai hati Will berkata demikian. Apa mungkin, kedua orang tua Will juga membenci Lily sama seperti Ibunya membenci William? Atas dasar apa? Yang terbaring koma di Rumah Sakit adalah dirinya. Jadi wajar, menurutnya jika ibunya sangat membenci Will. Kalau keluarganya membenci Lily, kenapa mereka membencinya? Pertanyaan itu terus berputar di otaknya, hingga seekor kucing menghampiri dan naik ke atas ranjangnya.
MIAW!
Suara kucing membuyarkan semua pikirannya. Lily berbalik dan melihat kucing putihnya tengah duduk di atas tubuhnya. Sesekali memijit perut Lily dan mengendus wajahnya. Lalu mengeong berkali-kali, berusaha meminta sesuatu yang sempat dilupakan majikannya.
“Iya, iya sebentar.” Lily baru ingat kalau sejak tadi dirinya belum sempat memberi Cello makan. Lily lantas turun dari tempat tidurnya menuju halaman di samping kamar. Cello mengikutinya dengan ekor yang tegak lurus, tanda bahagia. Tangannya meraih sebuah dus makanan kucing yang ada di atas papan, yang sengaja di tempel di tembok untuk keperluan Cello. Lily kemudian menuangkan isi dalam dusnya ke sebuah mangkuk berwarna biru besar milik Cello, dan kucing itu menghampirinya dengan cepat seraya menyantap makanannya.
“Aku kangen dia sebenernya. Tapi, aku masih benci sama dia,” gumamnya. Suara hati yang selama ini dipendamnya, meluncur begitu saja keluar dari mulutnya dan hanya pada Cello dia bisa mengungkapkan semuanya. “Aku harus gimana, Cel?”
Lily lantas mengusap tubuh Cello dengan penuh kasih sayang, meski yang dilakukan kucing itu hanya makan dengan lahap. Setidaknya saat ini dia tidak benar-benar sendirian. Andai saja saat itu Lily tidak mengikuti apapun yang di perintahkan William, andai saja dia lebih memilih takut dan pulang saja. Mungkin saat ini keduanya masih berteman. Bermain bersama, berlari, tertawa, dan terkejut dengan semua kejutannya yang menyenangkan. Bahkan saling menyukai dan mengutarakan perasaan dan saat ini mereka benar-benar tengah di mabuk cinta. Melakukan segala hal yang menyenangkan bersama, lalu saling berjanji bahwa hubungan ini akan berlanjut hingga mereka tua. Sayangnya hal itu hanya bisa terjadi dalam pikirannya.
Sekilas matanya mulai berkaca-kaca. Mengingat pertemuan pertama keduanya setelah sekian lama tidak berakhir bahagia. Lily bahkan memerhatikannya tanpa kedip sama seperti para gadis lainnya. Mata coklat, rambut spike hitam yang rapi, dan seulas senyum indah sempat membuatnya terhanyut saat itu. Senyuman yang masih disukainya bahkan sampai saat ini.
Seolah tau kesedihan yang tengah dirasakan majikannya, Cello kembali mengusap tubuhnya pada Lily. Keduanya saling menatap. Andai saja William bisa lebih bersabar sampai hari esok untuk menunjukkan seekor kucing yang ditemukannya, saat itu. Mungkin kejadian itu tak akan pernah terjadi. Bahkan sampai saat ini, Lily masih memelihara satu-satunya peninggalan William dengan sangat baik.
*
Pelajaran olahraga pagi ini mengambil tema lari 100 meter. Pelajaran yang sangat di benci Lily.
“Apa ada pelajaran olahraga yang nggak bikin capek?” bisiknya pada Layla yang berbaris di depannya, menunggu giliran.
Gadis itu terlihat berpikir. Layla menaruh telunjuknya di kening, dan mengerutkan sedikit keningnya. “Ada. Catur. Paling, lo cepat mati karena bosan,” jawabnya enteng.
Lily hanya mengerutkan kening saat mendengar jawaban sahabatnya yang jelas tak membuat gadis itu tertawa atau tersenyum, paling tidak. Lily lantas berbalik tak lagi memedulikannya.
“Layla!” Guru olahraga memanggil namanya. Kemudian memberi aba-aba untuk memulai gilirannya.
“Ly. Ayo!” Giliran Lily. Gadis itu berjalan malas menghampiri lalu bersiap menunggu aba-aba.
“Jangan malas-malasan gitu. Nilai kamu di pelajaran olahraga masih kurang. Ayo semangat, dong!”
“Capek, lari tuh Pak!”
“Lebih capek lari dari kenyataan, Ly. Udah cepetan! Ready?”
Lily mengerjap berkali-kali mendengar ucapan yang dilontarkan guru olahraganya. Lari dari kenyataan memang melelahkan. Selama ini, dia bahkan sudah melakukanya.
“Go!”
Lily berlari lebih cepat dari biasanya. Berusaha membuktikan bahwa apapun jenis larinya, tetap saja melelahkan.
“Bagus! Pertahankan.”
“Sama-sama capek, Pak. Nggak ada bedanya!” Lily berjalan menjauhi guru olahraga yang sedikit kebingungan dengan pernyataan Lily padanya. Sebotol air mineral dingin mampu meredakan dahaganya. Kalau sudah seperti ini, Lily akan sering menguap dan tertidur di kelas. Tapi karena pelajaran selanjutnya kosong, Lily memilih pergi ke UKS untuk tidur disana.
“Kemana, Ly?”
“UKS dulu bentar. Ngantuk gue!”
“Wih! Lay lihat. William keren banget!” Fanny. Keduanya bahkan sudah mulai dekat mulai hari ini.
“Iya. Ganteng, ya. Larinya cepet banget!”
Lily menatap lelaki yang sedang dibicarakan kedua temannya. Sementara yang dituju baru saja duduk setelah menyelesaikan tugas larinya.
“Satu menit sembilan belas detik! Kamu bisa saya ajukan ikut kejuaraan, kalau mau.”
“Maaf, Pak. Olahraga bukan minat saya,” ucapnya.
“Wah! Sayang sekali. Tapi, kalau kamu berubah pikiran, temui saya!”
William membalasnya dengan senyuman yang disambut riuh anak perempuan lain. William masih menimbang-nimbang. Meski saat di Belanda dulu, dia pernah mengikuti lomba marathon tapi dia belum minat pada olahraga. Saat ini dia lebih suka berlama-lama diam di depan komputer atau perpustakaan daripada lapangan. William hendak mengambil botol minuman, saat kedua matanya menangkap sepasang mata yang sejak tadi memerhatikannya. Namun, pandangan itu berlangsung singkat. Saat gadis itu menyadari kalau tatapan keduanya saling bertemu, dia lantas memalingkan wajahnya kemanapun lalu pergi dari hadapannya. Dia bahkan tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Lily tentangnya.
Saat anak-anak lain memilih kantin untuk menghabiskan waktu saat pelajaran kosong sekaligus menambah energi, Lily memilih berbaring di UKS merebahkan tubuhnya yang lelah setelah pelajaran olahraga tadi. Matanya terpejam dan suara napasnya terdengar teratur. Dia tertidur. Sesuai dengan rencana yang sudah dia buat sebelumnya.
Sementara itu di kantin, Layla dan yang lain mulai memesan makanan dan minuman untuk membuat tubuh mereka kembali bugar. Merasa ada yang kurang, Bagas lantas menghampiri Layla.
“Layla. Lo sendirian?” pekik Bagas dan William yang mengekor di belakangnya. “Mana Lily?” tambahnya.
“UKS. Tidur kayaknya dia,” jawab Layla sambil menyantap bakso yang baru saja dipesannya.
“Kenapa sih dia tuh, Lay? Susah banget deketin dia akhir-akhir ini.”
“Biasa aja, kok! Lo aja kali yang baper. Lily jutek kayak biasanya.”
“Enggak gitu. Biasanya kalau gue deketin, dia ada respon gitu. Tapi sekarang, enggak ada respon apa-apa dari dia?”