Hari sudah berganti pagi lagi. Seperti pagi yang lain, aku masih butuh teriakan Mama untuk menyadarkanku dari bunga tidur. Meski mentari masih malu-malu untuk muncul, dan ayam tetangga sudah sarapan dengan bekatul, aku masih nggak rela meninggalkan kasur.
Kedua kalinya Mama bersuara lagi , kali ini semakin keras, jika saja tembok rumahku hanya setipis buku paket biologi, mungkin tetangga samping rumahku ikut terbangun mendengar gelegar suara Mama. Mengerjapkan mata, meregangkan otot-otot yang sempat kaku karena nggak bergerak selama aku tidur hingga menimbulkan suara, kemudian aku beranjak dari benda empuk yang aku tiduri.
Aku berjalan ke kamar mandi dengan kondisi yang masih ogah-ogahan kakiku menapak di lantai yang cukup dingin. Kubuka keran air, mengusap kedua tanganku, berkumur, membersihkan lubang hidung mngucap niat saat tanganku membasuhkan air ke wajah. Usai berwudhu, aku kembali menuju kamar, menggelar sajadah kuning bergambar ka’bah. Mengenakan mukena putih, berdiri tegap kemudian baca bismillah.
Selesai menjalankan ibadah dua rakaat, aku melihat jam dinding yang tergantung di samping stiker yang kutempel bergambar tomat. Masih ada sedikit waktu membantu Mama meski hanya sesaat.
Saat aku tiba di dapur, Mama baru saja selesai mencuci beras, lalu memasukkannya ke dalam rice cooker. Di meja dekat kompor, ada bawang juga cabai yang sudah diiris kecil-kecil, kulit tipis bawang itu berserakan hingga beberapa ada yang jatuh di bawah. Kangkung yang sudah dipotong beberapa, dan masih sedikit yang masih panjang belum dieksekusi.
“Bel, lanjutin potong kangkungnya,” titah Mama.
Tanpa ba-bi-bu aku langsug mematuhi perintahnya. Setelah beberapa menit di dapur dan aku merasa langit semakin cerah, aku langsung bergegas mandi dan siap-siap untuk pergi ke sekolah. Saat aku sudah siap dengan persiapanku, aku langsung menuju ruang makan. Di sana sudah ada Papa dan korannya. Mama dengan celemek yang sudah sedikit buluk warnanya.
“Kamarmu udah dirapihin belum?” Tanya Mama.
“Udah.” Mama mengangguk. Aku menyeruput susu putih yang sudah dibuatkan Mama.
“Bel, katanya temen kamu ada yang hamil ya?” Tanya Mama.
Seketika aku dan Papa menatap Mama dengan alis berkerut. Ekspresi kami sama, jika Papa seorang gadis remaja sepertiku, mungkin kami akan dibilang kembar lantaran memiliki wajah yang sama, hanya saja wajah Papa tiga kali lebih tua.
“Temen siapa?” tanyaku bingung. Tidak ada kabar apapun yang aku dengar tentang temanku yang hamil. Aku yakin bukan Luna, sebab ia bercerita jika kemarin ia sedang haid hari pertama.
“Enggak tau. Pokoknya dia satu sekolah sama kamu.”
“Nggak semua murid di sana itu temenku, Ma. Mama denger berita kaya gitu dari mana sih?” jujur aku tidak suka saat Mama mulai membicarakan orang.
“Bu Een cerita. Masa kamu nggak denger sih kalau temen sekolah kamu ada yang hamil?” Agaknya Mama masih begitu penasaran dengan orang yang ia bicarakan. Aku bukan orang yang update gosip nonfaedah begitu. Ya ampun, beneran deh, ya terus kenapa kalau orang itu hamil, harus banget aku tau tentang berita itu?
“Enggak tau, Ma. Udah deh, nggak usah gosipin orang gitu. Dosa, tau nggak?!”
“Bener, Bel. Gosip itu emang bikin dosa. Mama kamu itu emang suka banget kepo sama urusan orang.” Papa
“Mama nggak kepo.” Mama langsung melihat ke arah Papa. “Ini tuh cuma mengklarifikasi aja, bener nggak apa yang diceritain Bu Een, takutnya kan Bu Een fitnah.”
“Ya udah, jangan bahas ini, malah jadi fitnah.” Aku melanjutkan makanku, lama-lama aku jadi tidak nafsu lagi, padahal nasinya masih tinggal sedikit, tapi perutku rasanya sudah tidak kuat menampung. Ku taruh sendok dengan posisi tengkurap. Lantas kujauhkan piring dari jangkauan.
“Abisin, Bel,” ucap Mama.
“Kenyang, ih. Nggak kuat,” keluhku sambil geleng kepala.
“Makanya kalo ambil nasi jangan banyak-banyak, kalau gini kan jadi mubazir, buruan habisin, tinggal dua sendok lagi itu. Sayang nasinya.”
“Kenyang Ma,” aku masih kekeuh.
“Abisin Bel, Mama nggak suka ya kamu makan nggak habis kaya gini. Beras mahal. Cari duit nggak seenak yang kamu kira, enak kamu cuma tinggal minta.”
Kesal, aku kambali mendekatkan piring yang tadi sudah kujauhkan, kuambil tumis kangkung juga tempe goreng untuk teman makan nasi yang tinggal dua sendok. Kumasukkan sendok yang sudah terisi dengan nasi serta lauknya ke dalam mulut, karena terbawa perasaan kesal, jadi aku agak menghentakkan sendoknya hingga mengenai gigiku cukup keras. Sakit. Aku sampai mendesis menahan sakitnya, Mama dan Papa langsung menatapku, keduanya langsung tertawa membuatku semakin kesal.
…
Bel istirahat baru saja dibunyikan, tapi Luna sudah ada di depan kelasku sejak sekitar lima menit yang lalu. Aku rasa guru di kelasnya nggak masuk, jadi dia bisa secepat ini keluar dari kelas.
Aku, Luna, Bella, Dimas dan Fathan ke kantin bersama. Dimas dan Luna asik berbincang berdua saja, entah apa yang mereka perbincangkan intinya nggak ada yang penting, hanya obroan-obrolan ringan macam orang pacaran biasa. Benar-benar seperti orang yang baru dimabuk asmara. Dari sekian banyak teman cowok Luna, entah bagaimana ceritanya dia bisa mendeklarasikan kalau sejak semingggu yang lallu dia dan Dimas sudah pacaran.
Setauku, dia dekat dengan adik kelas yang kata Luna keren banget. Kuakui, adik kelas yang dekat dengan Luna itu memang tampan dan super keren. Aku sebagai seorang cewek saja, seratus persen mengakui kalau Angga—nama adik kelas itu—memang keren dan tampan, Dimas masih kalah dua tingkat. Aku tidak bilang kalau Dimas tampannya di bawah standar, tapi jika dibandingkan dengan Angga, Dimas memang bukan lawannya.
Aku menyumpit mie ayam kemudian kugulung dan memasukkannya ke dalam mulut, Dimas dan Luna pesan bakso, sedangkan Bella dan Fathan hanya minum es jeruk. Dengan situasi seperti ini aku merasa menjadi nyamuk. Semuanya berpasangan, dan cuma aku sendiri yang tidak ada pasangan. Meskipun aku sangat tau kalau Bella dan Fathan tidak berpacaran, tapi hello… semua murid disini sudah melabeli mereka sebagai sejoli.
“Kalian nggak makan?” tanyaku basa-basi.
“Kenyang gue,” jawab Bella. Dia menyeruput minumannya, lalu menggerakkan tubuhnya agar bisa menghadap Fathan yang duduk di sebelah kanannya, aku dipunggungi. “Than, kemaren bokap gue beliin gue buku latihan SBMPTN, apa bokap gue nggak percaya kalau gue bakal lulus SNMPTN ya?”
Aku menghentikan kegiatan makanku, sumpit yang masih ada gulungan mie kuning panjang menggantung di depan mulutku. Aku melirik Bella yang tubuhnya menghadap ke arah Fathan. Luna dan Dimas nggak peduli, mereka tampak asik dengan dunianya sendiri, maklum mereka baru saja jadi bucin.
Aku cuma diam saja menunggu kalimat apa yang akan Fathan keluarkan untuk merespon perkataan Bella. Jujur saja, aku agak kurang setuju dengan pendapat Bella yang mengira Papanya nggak percaya dengan kemampuannya yang aku akui Bella memang cerdas. Tapi apa salahnya ‘kan kalau Papanya membelikan buku buat dia, toh buku itu bisa bantu meningkatkan kemampuan akademisnya sendiri.
“Ya nggak apa-apa, bokap lo bukannya nggak yakin kalau lo nggak bisa lolos SNMPTN, nggak ada salahnya juga kalau dia beliin lo buku buat belajar. Kalau gue bakalan seneng banget dibeliin buku buat latihan.” Aku bengong mendengar ucapan yang baru saja diucapkan Fathan benar-benar sama dengan apa yang aku pikirkan.
“Lo mau belajar bareng gue?” aku kembali melirik Bella setelah menelan seluruh mie yang sempat tergantung di garpu. Aku lihat Fathan sejenak tampaknya dia sdang berfikir untuk menimbang penawaaran Bella.
“Boleh, ajak yang lain juga.” Fathan menoleh pada Dimas yang masih saja asik ngobrol berdua dengan Luna, perhatiannya langsung teralih begitu saja pada Fathan. “Dim, Bella ngajakin belajar bareng buat persiapan SBMPTN. Gimana?”
“Boleh banget tuh.” Dimas kembali menoleh pada Luna yang duduk di sampingnya, aku masih diam memerhatikan interaksi orang-orang di sekitar aku ini. “Yang, kamu mau ikut belajar bareng nggak?”
“Ajak gue juga dong!” entah dari mana asalnya, Jovi langsung duduk di samping Dimas, tepat di depanku. Dia menatap lurus ke arahku dan itu malah bikin aku jadi nggak nyaman.
“Heh, lo nggak usah ngeliatin temen gue segitunya ya!” kulihat Luna menatap horror Jovi yang malah terlihat santai saja menanggapinya.
“Loh, ada mantan juga di sini?” goda Jovi, mereka berdua dulu memang sempat dekat saat kelas sebelas. Tapi akhirnya mereka berdua malah pacaran sama orang lain. Luna pacaran sama Kak Azril—kakak kelas yang menjabat ketua OSIS saat itu—Luna emang cantik banget, hampir semua cowok di sekolah pernah coba pedekate sama dia.
Tapi berhubung Luna orangnya pemilih, jadi hanya cowok dengan popularitas tertentu saja yang bisa jadi pacarnya, contohnya ya Kak Azril itu si ketua OSIS, Kak Iqbal anak futsal yang sempat melegenda pada masanya, Kak Faqih yang gantengnya sebelas dua belas sama Jungkook kalau kata Luna, nggak heran kalau followers instagramnya Kak Faqih membeludak.
“Mantan pala lo peyang!” Luna melempar kerupuk jengkol yang Alhamdulillah bisa kena mukanya Jovi sampai membuatnya mengumpat. “Yang, kamu nggak usah dengerin dia.” Luna menutup kedua telinga Dimas dengan tangannya, membuat wajah meraka saling bertatapan.
“Najis banget lo pacarannya udah kaya di rumah sendiri, pegang-pegangan. Iyuh!” sewot Jovi.
“Sirik aja lo jomblo!” Luna melepas tangannya dari telinga Dimas. “Yang, pokoknya kalau kamu denger yang aneh-aneh tentang aku dari manusia itu, ludahin aja mukanya.”
“Astagfirullah.” Jovi dan Fathan kompak beristigfar mendengar ucapan Luna yang terkesan bar-bar.
“Dim, lo mending putusin Luna secepatnya deh sebelum lo menyesal,” hasut Jovi dramatis.
“Jov, jangan bilang kalau lo belum bisa move on dari gue.”
“Idih, najis banget!”
“Walaupun akhirnya gue jadi jomblo, gue nggak bakal mau dipacarin sama lo!”
“YANG MAU MACARIN LO TUH SIAPA?1” Jovi terlihat sangat kesal banyak debat dengan Luna. “Mending gue macarin Nabel aja. Ya nggak Bel?” Jovi menaik-turunkan alisnya di hadapanku. Sontak saja aku langsung tersedak ludah sendiri. Semua jadi hening, situasi macam apa ini?