Di dunia ini, satu-satunya orang yang bisa bikin aku kesal sekaligus bikin takut masuk neraka adalah Mama. Seberapa pun dia marah, dan bikin aku mendebat dia, aku langsung inget dosa. Tapi anehnya, aku masih ngerasa sulit buat minta maaf. Kecuali saat lebaran.
Berkali-kali bahkan seringkali kami bertengkar, kemudian Mama jadi diam, nggak mau ngomong sama sekali sama aku, aku tetap malu sekedar untuk bilang maaf. Ujung-ujungnya. Suasana akan cair dengan sendirinya sampai Mama mulai berbicara denganku terlebih dahulu dan saat itu aku langsung menganggapnya sudah memaafkan kesalahanku yang membuatnya marah.
Jadi sebisa mungkin aku nggak akan membantahnya. Tidak akan membuatnya menyuruhku hingga dua kali. Tapi sialnya, kali ini aku terlalu asik memainkan ponsel sampai-sampai aku tidak mendengar Mama memanggilku.
“Nabel!” aku langsung berjingkat karena kaget, bahkan ponsel yang sedang aku pegang hampir terjun ke lantai. “Dipanggilin dari tadi nggak nyahut, ngapain sih?!”
Aku buru-buru menaruh ponselku di atas kasur, kemudian berdiri dan menghampiri Mama yang ada di ambang pintu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kenapa, kenapa. Makanya ulah hapean terus atuh lah! Disuruh ke warung bentar aja Mama sampe cape manggilin kamu.”
“Beli apa?”
“Beli micin, eta micina beak. Sok sana beli.”
“Ish, Mama punya warung sendiri juga, masih aja beli micin di warung orang.”
“Ya masa Mama kudu ka pasar heula. Jauh. Males banget. Punya anak gadis juga buat apa kalo nggak bisa dimintain tolong.”
Aku langsung mengerucutkan bibirku. Mengambil sweater rajut di gantungan dan memakainya. Mama keluar dari kamarku, lantas aku mengikutinya dari belakang.
“Mana uangnya?” tanyaku, aku merapikan sweater yang kukenakan supaya terlihat sedikit rapi.
“Nih.” Mama memberikan selembar uang dua puluh ribuan dan dua lembar uang sepuluh ribu. “Sekalian sama gula jawa sama odol.”
Aku keluar rumah, sempat kesal hampir tersungkur karena kesusahan memakai sandal. Hari sudah sore, seperti biasanya, di komplek tempat aku tinggal banyak anak kecil yang sedang bermain. Aku sempat tersenyum. Mengingat kecilku dulu juga seperti itu.
Saat aku kecil, aku tidak akan pulang main sebelum Mama mencariku dan mengajak pulang untuk mandi sore. Dan biasanya, setelah mandi aku kabur untuk main lagi.
Aku terus berjalan, warung yang aku tuju cukup jauh jaraknya sekitar seratus meter lebih, sesekali kakiku menendang kerikil-kerikil kecil.
“Kemana Bel? Tumben keluar rumah.”
Aku yang sedari tadi menunduk menyusuri jalanan aspal seketika menengok ke sebuah rumah. Kudapati A’ Agis yang sedang mencuci motor. Aku tertawa canggung.
“Disuruh ke warung sama Mama. Nyuci motor A’?” tanyaku basa-basi, padahal kalau dipikir-pikir aneh juga, kan aku sudah tau kalau A’ Agis sedang mencuci motor.
“Enggak Bel, lagi nyuci kambing.”
Aku melongo sebentar, malu dengan pertanyaan yang aku lontarkan, kugaruk tengkukku karena alah tingkah, setelah itu aku tertawa. A’ Agis masih selucu itu, sama seperti dahulu. Hanya saja kami sudah tidak lagi main bersama. Mungkin karena kami perlahan sudah mulai remaja.
“Bisa aja bercandanya.” Aku langsung teringat dengan tujuanku yang harus ke warung. Jadi, aku pamit ke warung pada A’ Agis “Ke warung dulu ya A’”
“Nya, sok. Tittip mie lidi ya Bel.”
Aku tertawa teringat jajanan favoritku dan A’ Agis. Mie lidi. Entah jajanan itu masih ada atau tidak aku juga kurang tau, aku hanya mengangguk.
“Siap! Ntar kalo duitnya sisa ya A’”
Aku kembali melanjutkan langkahku. Tidak butuh waktu lama, akhirnya aku tiba di warung tersebut. Cukup ramai keadaannya. Ada empat ibu-ibu yang juga sedang belanja. Dari keempat ibu-ibu itu, hanya tiga yang kukenal. Aku tidak tau siapa ibu-ibu yang badannya paling subur diantara mereka berempat dan memakai perhiasan mencolok.
“Beli apa Bel?” tanya Bu Een yang sadar akan kedatanganku.
Aku tersenyum cangggung. “Beli micin, Bu.”
“Nabel tuh SMP nya? Barengannya si Ucup,” tanya Bu Ucum yang menatapku penuh selidik. “Minyaknya sebotol, Rin.” Pinta Bu Ucum pada Teh Ririn, anak si pemilik warung. Kebetulan dia yang melayani.
Aku langsung cengo, merasa terhina, pengin banget teriak di depan mukanya Bu Ucum kalau aku sudah SMA dan udah mau lulus. Tapi aku tahan soalnya nggak sopan.
“Nabel mah SMA, udah mau lulus. Kan barengannya Icha, dulu aja waktu SD berangkat bareng pake sepeda yang warnanya sama,” jelas Bu Een yang seakan-akan kenal aku banget.
“Apa lagi, Bu?” tanya Teh Ririn pada Bu Ucum.
“Udah Rin, itu aja,” jawab Bu Ucum.
Teh Ririn langsung menghitung belanjaan Bu Ucum yang cukup banyak menggunakan kalkulator sambil memasukkan belanjaan Bu Ucum ke kantong palstik ukuran besar.
“Icha tuh yang ke mana-mana sukanya pake tanktop doang itu ya?” tanya Bu Subur—aku nggak tau siapa namanya, jadi supaya lebih enak mari kita panggil dia Bu Subur.
“Iya. Beuh, semenjak ditinggal Mamanya ke luar negeri jadi berubah gitu. Sering pulang malem kalau main,” sahut Bu Ucum, suaranya jadi sedikit lebih rendah.
“Pernah katanya waktu itu dia ngajak cowok ke rumahnya sampe malem banget, mana pintunya ditutup.” Kini giliran Bu Een yang terlihat excited.
“Kata siapa?” tanya Bu Komar yang dari tadi belum bersuara.
“Kata si Aan, eta kalo si Aan ngomong ke Pak RT langsung digrebek pasti,” kata Bu Een.
“Bu Een mau apa?” tanya Teh Ririn saat selesai melayani Bu Ucum.
Bu Een langsung mengalihkan perhatiannya pada Teh Ririn. “Gula pasir sekilo, cabe rawitnya setengah sama terigu setengah juga.”
“Lah, si Aan mah masih bocah piyik, takut juga kali kalau mau ngadu ke Pak RT.” Sahut Bu Ucum, padahal belanjaannya sudah siap dibawa pulang, tapi dia kelihatan keasikan bergosip ria.
Aku cuma bisa menyimak agenda pergosipan antar ibu-ibu komplek. Lantaran aku juga nggak tau mesti gimana. Ya kali aku ikut ngomongin temen sendiri, meskipun aku juga nggak tau tentang Icha yang sekarang. Tapi beberapa kali Mama sempet cerita kalau Icha sedikit berubah.
“Bapaknya ke mana emang?” Tanya Bu Subur terlihat yang paling penasaran.
Bu Ucum langsung berbinar, tampaknya dia yang paling tau tentang gosip ini. Dia kelihatan bersiap-siap mengeluarkan aib dengan cara kejamnya. Sebelum bercerita, Bu Ucum sempat memukul lengan kiri Bu Komar yang sempat tidak memperhatikan Bu Ucum.
“Bapaknya Icha teh, sering nggak pulang. Anak saya si Lukman sering mergokin Bapaknya Icha boncengan sama perempuan.”
“Masa?” tanya Bu Een dan Bu Subur antusias.
“He’eh,” jawab Bu Ucm, kepalanya menganggguk pasti, tangannya juga ikut melambai.”Waktu itu Pak Nurdin juga sempet ngeliat Bapaknya Icha sama perempuan di deket pasar.”
“Itu pasti abis ngebelanjain selingkuhannya. Kurang ajar bener ya, istri bela-belain jadi TKW di Negara orang, suami di rumah malah main belakang.” Cela Bu Subur.
“Ya namanya juga lelaki. Mana betah ditinggal istri,” ucap Bu Ucum.
Aku langsung kikuk mendengar ucapan Bu Ucum, kulirik Teh Ririn yang ternyata juga melirikku. Kami sama-sama tersenyum geli dan geleng kepala.
Setelah obrolan yang jadinya malah seperti unboxing aib, para ibu-ibu satu persatu angkat kaki. Bu Komar terlebih dahulu meninggalkan warung, dia tampak tidak tertarik dengan gosip, dan buru-buru meninggalkan obrolan tidak penting itu.
“Heran ya sama ibu-ibu tadi, mantep banget ngomongin orang,” kata Teh Ririn sambil mengambil bebreapa belanjaan yang aku pesan.
“Iya. Apa lagi tadi, pas waktu Bu Komar pergi duluan, gantian Bu Komar yang jadi bahan gosip.”
Teh Ririn tertawa, dia mulai menghitung belanjaanku dan memasukkannya ke dalam kantung plastik ukuran sedang.
“Nih, Bel.” Teh Ririn menyerahkan kantung plastic yang sudah berisi belanjaan kepadaku.