Terhitung sejak senin kemarin sekolahku sudah menjalankan kelas tambahan buat anak kelas dua belas atau angkatan atas. Dan hari ini rencananya kelompok belajar antara aku, Luna, Bella, Fathan, Jovi dan Dimas mulai jalan, tentu saja di rumahku seperti rencana awal kita.
Aku, Bella, Luna, Fathan dan Jovi langsung pulang ke rumahku, jadi kita semua masih pakai seragam. Dimas saat kuajak nggak mau ikut, kayanya dia masih marah sama Luna dan Jovi, Jovi masih nggak tau kalau Dimas marahan sama Luna karena cemburu sama dia.
Aku sama Luna pulang pakai jasa ojek online, sedangkan Bella sama Fathan boncengan pakai motor Fathan dan Jovi sendiri. Katnya, Luna nggak mau ambil resiko kalau missal nanti Dimas tau Luna boncengan sama Fathan lagi, bisa-bisa dia putus sama Dimas.
Baru kali ini aku lihat Luna sebucin itu sama pacar. Padahal sama mantannya yang dulu-dulu dia nggak terlalu peduli kalau mantannya cemburu sama Luna saat boncengan atau main sama cowok lain.
Nggak sampai lima belas menit kami sampai di depan rumahku. Aku suruh Jovi sama Fathan buat masukin motor mereka sampai ke depan garasi. Aku buka pintu depan dengan kunci yang biasa Mama taruh di bawah pot bunga samping jendela.
“Ayo masuk,” ajakku.
Setelah melepas sepatu, yang lainnya langsung mengikutiku masuk ke dalam rumah.
“Gue tuh dulu kaya pernah ke komplek ini deh waktu kecil, tapi lupa ke rumah siapa,” gumam Jovi. Matanya menyusuri area ruang tamuku yang nggak seberapa luasnya.
“Lo punya sodara di sini?” tanyaku, kemudian mempersilakan mereka duduk.
“Nggak tau, dulu udah lama banget, sebelum Mami Papi gue cerai,” jawab Jovi santai kemudian dia duduk di sofa, tepatnya di samping Fathan.
“Nyokap bokap lo cerai?” tanya Bella. Aku sih sudah tidak terkejut dengan latar belakang Jovi sebab Luna dulu pernah cerita waktu jaman kelas sebelas, waktu mereka lagi pedekate.
“Iya,” jawab Jovi, dia melepas tas ranselnya dan menaruhnya di bawah, tepat di samping kakinya yang jenjang. “Lo pasti mikir gue nakal gini karena broken home, tapi nggak. Gue nakal pure diajak si Doni. Tapi bukan berarti gue nyalahin Doni sih, gue enjoy-enjoy aja temenan sama Doni dan kawan-kawan, mereka asik dengan cara mereka.”
“Tapi kalau diliat-liat, gue jarang liat lo main sama Doni lagi.” Kali ini Luna yang bersuara.
Jovi ketawa sebentar bukan ketawa ngakak karena hal lucu, Cuma ketawa yang kaya ngeluariin nafas dari hidung doang gitu pokoknya. “Gue masih main sama mereka, malah waktu itu gue ke kantin sama mereka pas pelajaran kosong. Tanya Nabel deh, soalnya ada dia juga di sana. Ya kan Bel?”
Aku mengangguk membenarkan petanyaan Jovi,
“Mama lo belum pulang Bel?” tanya Fathan yang ternyata bukunya sudah dia keluarin semua dari tasnya.
“Bentar lagi sih kayanya, biasanya duluan Mama yang sampe daripada gue pulangnya.” Suara motor yang khas memasuki pelataran rumah.”Nah tuh Mama pulang.”
Semuanya langsung menengok ke luar lewat jendela. Mama melepas helm-nya saat sudah memakirkan motornya di depan garasi, membenarkan tas selempangnya yang posisinya tidak benar.
“Assalamualaikum,” salam Mama saat memasuki rumah lalu dijawab oleh kami semua.“Udah pada pulang?”
Mama menyalami teman-temanku satu per satu sambil menanyai nama mereka, saat sampai menyalami Luna, Mama menyelaminya agak lama sambil bilang. “Sekarang jarang main ke sini ke mana aja?” tanya Mama.
“Hehe, nggak kemana-mana sebenernya, cuma nggak sempet aja mau main ke sini.”
“Nih, Mama bawain ini.” Mama taruh plastik berukuran sedang di atas meja.
“Apaan itu?” tanyaku, kuraih plastic dan membukanya.
“Mpek-mpek. Ambil piring Bel. Sama bikini minum sekalian,” titah Mama.
“Nggak usah repot-repot, tante,” kata Fathan, agaknya dia sungkan sama Mama.
“Repot apa, nggak repot.”
Aku berdiri, berjalan menuju dapur diikuti Luna di belakangku, sepertinya dia akan membantuku menyiapkan piring serta minuman untuk disuguhkan. Luna sudah biasa di rumahku, dia juga hafal seluruh ruang yang ada di rumah. Ni yangnamnay definisi anggap rumah sendiri. Luna benar-benar menganggap rumahku sudah seperti rumahnya sendiri. Tapi tetap sopan. Dia juga sudah akrab dengan Mama dan Papa. Bahkan dulu dia sering nginep di rumahku tiap malam minggu,
“Bikin minuman apa ya?” tanyaku pada Luna saat kami sudah berada di dapur.
“Sirup aja udah.” Luna langsung mengambil batu es dan sebotol sirup rasa jeruk dari dalam lemari es. Cekatan saat tangannya membuat minuman. Aku sendiri menyiapkan piring, mangkuk dan sendok.
Nyatanya, Mama nggak cuma beli mpek-mpek doang, di palstik yang Mamam bawa tadi ada bika ambon, risoles sama brownis. Mama emaag seberlebihan itu kalau sama teman-temanku. Dulu, waktu Luna pertama kali ke rumahku, Mama bahkan nyiapin pizza, pie susu sama gorengan. Katanya buat temen ngemil karena emang Mama tau kalau niat Luna nginep di rumah buat marathon nonton drakor sampe pagi. Padahal, Luna nggak serakus itu soal makanan. Jadinya, cuma pizza doang yang kita makan buat temen nonton drakor, soalnya mahal, sayang kalo nggak dimakan.
“Kamar mandi di mana?” tanya Jovi yang tiba-tiba udah ada di deket Luna, Luna sampai kaget dan jatuhin sendok yang buat ngaduk minumannya.
“Kampret ngagetin aja.” Luna ambil sendok yang jatuh itu tadi.
“Itu di sana,” tunjukku pada kamar mandi yang letaknya emang nggak jauh dari dapur. Rumahku bukan tipe rumah mewah yang jarak kamar mandi sama dapur jauhnya hampir seratus meter.
“Gue duluan, ya,” ucapku sambil membawa setumpuk piring dan mangkuk serta sendok yang bakal dipakai buat makan mpek-mpeknya.
Sampai di ruang tamu, Bella sama Fathan udah mulai buka-buka bukunya. Kayanya mereka udah bahas beberapa soal deh. Fathan langsung berdiri dan ambil alih piring yang aku pegang saat tau aku datang. Tadinya aku sempat nolak karena emang aku nggak butuh bantuan soalnya piringnya kan nggak berat-berat amat, tapi Fathan maksa ya udah jadinya piringnya aku serahin ke dia semua.
Aku buka plastic yang berisi makanan tadi, mpek-mpeknya aku taruh di piring yang agak besar soalnya banyak banget, terus kuahnya aku tuang di mangkuk-mangkuk kecil, Bella akhirnya bantuin aku, dia keluarin brownis sama bika ambon terus ditata di piring.
“Banyak banget deh makanannya. Ini kita malah kaya piknik,” ucap Bella sambil nata makannya.
“Hehe, Mama emang suka gitu kalo temen-temen gue main ke sini, lebay banget soal makanan,” jawabku.
“Jadi enak gue kalau kaya gini,” kata Fathan yang bantuin aku nuang kuah mpek-mpek ke mangkuk.
Aku sama Bella cuma ketawa mendengar lontaran Fathan.
“Jovi sama Luna mana?” tanya Fathan.
“Jovi lagi di kamar mandi, Luna lagi bikin es.”
“Dimas tuh ternyata cemburuan ya?” tanya Bella aku lirih, kayanya takut kalau kedengeran Luna,
“Iya. Gue juga baru tau,” jawabku.
“Tapi menurut gue wajar aja sih kalau Dimas cemburu sama Jovi soalnya kan Luna sama Jovi pernah deket.”
Aku cuma ngangguk sambil senyum canggung, nggak tau mau ngeresppon apa lagi kalau ada yang ngajakin aku ngomongn orang lain. Bukannya apa-apa, takut salah ngomong aja.
Luna sama Jovi akhirnya muncul, Luna bawa nampan yang di atasnya ada lima gelas kaca, sedangkan Jovi bawa teko yang berisi sirup. Luna taruh nampan di atas meja alu disusul jovi dengan meletakkan teko di atas meja juga.
Meja ruang tamu akhirnya penuh dengan makanan, buku-buku yang tadinya mau kita pelajarin malah tercecer di lantai.
“Yuk kita makan dulu, abis itu belajar biar belajarnya khusyuk.” Luna menuang sirup ke gelas yang kosong kemudian meminumnya.
“Tuangin buat gue dong, Lun,” pinta Jovi.