Kesalahan memang kerap kali dilakukan oleh yang namanya manusia. Nabi pun yang notabene manusia pilihan Tuhan juga penah salah. Contohnya saja Nabi Adam, bahkan Ia dan Hawa diusir dari surga karena sebuah kesalahan. Tapi Adam tau apa kesalahannya, dia langsung memohon ampun atas kesalahan yang sudah Ia dan Hawa perbuat kepada Tuhan. Walaupun pada akhirnya dia tetap menetap di bumi hingga maut yang mempertemukan Adam dengan surga kembali,
Luna pun begitu, walaupun tidak sepenuhnya salah, Dimas masih saja marah padanya. Sampai akhirnya tadi Jovi turut bicara pada Dimas. Awalnya, aku sempat melarang Jovi untuk ikut campur urusan mereka berdua, tapi ternyata… Dimas sudah tidak marah lagi dengan Luna.
Luna kelihatan senang banget karena mereka berdua sudah baikan. Malahan tadi Dimas antar Luna pulang. Aku juga sempat mau diantar Jovi sih, tapi aku tolak, soalnya motor Jovi berisik banget. Aku nggak betah kalau selama perjalanan pulang bakalan dengerin suara motor Jovi yang nggak santai itu.
Fathan juga nawarin aku pulang bareng dia, tapi aku juga nolak. Soalnya kasian Bella, dia belum juga dijemput sama sopirnya. Makanya aku usul kalau lebih baik Fathan antar Bella saja dari pada antar aku pulang. Toh biasanya juga aku pulang sendiri pakai jasa ojek online.
Saat aku sampai rumah, ternyata Mama sudah pulang dari toko. Aku langsung masuk kamar untuk ganti baju. Setelah itu aku langsung menghampiri Mama yang masih menyetrika pakaian. Mama sudah menyelesaikan setengahnya. Jadi masih ada setengah keranjang lagi pakaian yang kusut.
“Sini biar aku yang lanjutin,” ucapku sambil mengulurkan tanganku.
“Mam heula sana,” sahut Mama. Masih melajukan setrika di atas kemeja biru Papa.
“Udah tadi di sekolah.” Karena Mama tidak kunjung menyerahkan setrikanya padaku, aku hany berdiri di samping keranjang baju sambil membalikkan pakaian serat mengancingkan kemeja, biar Mama makin mudah menyetrikanya.
“Emang di sekolah mamam nasi?”
“Henteu.” Aku geleng kepala. “Makan mie ayam tadi. Kenyang banget.”
“Tuh, kan, mie oge. Ulah kebiasaan mamam mie terus Bel.”
“Kan nggak setiap hari juga makannya.”
“Ya mun kamu mamnya tiap Senin sampe Jumat oge sarua.”
“Enggak ih.”
“Awas aja ntar kalau ngeluh sakit perut.”
“Nggak lah. Dah, sini mana aku aja yang gosok bajunya.”
“Ntar ah, nanggung, dikit lagi,” kata Mama.
Ya udah, aku juga jadi enak kan kalau gini, Cuma ngancingin kemeja, membalikkan pakaian yang terbalik, terus meenggantung pakaian di hanget.
Selesai menyetrika baju, Mama langsung ke dapur karena mau masak untuk makan malam nanti. Aku mengelap meja, sofa, tivi dan barang-barang lain yang sekiranya terkena debu. Setelah itu, lantainya langsung kusapu. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul lima. Harusnya jam segini Papa sudah ada di rumah.
Aku langsung mandi saat aku sudah menyelesaikan tugas menyapu. Selesai mandi aku duduk-duduk di depan rumah sambil baca buku yang minggu lalu Papa belikan untukku. Sore-sore begini enaknya berada di luar rumah memang. Walaupun udaranya tidak sesejuk saat pagi, tapi suasana tenangnya buat aku betah berlama-lama berada di luar.
Kulihat mobil hitam Papa memasuki rumah melewati pagar yang juga warnanya hitam. Kubuka garasi, biar Papa tidak perlu turun untuk membukanya.
Biasanya, Papa sampai rumah paling lambat jam lima. Tapi kali ini, Papa terlambat sampai rumah hingga setengah jam. Ini sudah hampir magrib. Papa turun, samhil senyum ke arahku seperti biasanya. Kemudian Papa membuka pintu belakang mobil, lalu keluarlah sosok yang putih. Parasnya cantik, matanya juga indah.
“Namanya Nabel juga,” ucap Papa tiba-tiba. Aku cuma diam di tempat. Langsung teringat dengan Mama. Aku yakin, setelah ini, bakalan ada perang lagi. Antara Mama dan Papa tentunya.
Aku hampir menangis waktu Papa sebut namanya yang mirip dengan namaku.
“MAMAAA, PAPA PULANG BAWA PEREMPUAN,” teriakku saat itu juga.
Papa langsung melotot terkejut, dia menaruh jari telunjuknya di bibir, menyuruhku untuk diam. Sosok yang masih dalam genggaman Papa juga tampaknya terkejut. Matanya melebar, terlihat ketakutan. Mungkin sebentar lagi dia akan menangis.
“Jangan teriak.”
Mama dengan dasternya yang motif batik bunga-bunga langsung keluar dari dalam rumah, di tangan kirinya masih ada spatula. Nafasnya sudah tidak beraturan lagi.
Aku langsung menunjuk ke arah Papa, sambil bersungut, memprovokasi Mama supaya langsung memarahi Papa detik itu juga.
“Lagi?!” seru Mama sambil berkacak pinggang—meskipun sempat kesulitan karena tangannya masih memegang spatula.
“Ini yang terakhir, Ma. Janji,” jawab Papa dengan suara memelas.
“Dari dulu kamu juga bilang ini yang terakhir, ini yang terakhir, Pa,” kata Mama membara.
“Ini juga buat gantiin Nabel kalau Nabel udah kuliah nanti. Biar rumah nggak sepi.”
Wah. Aku mengangkat kepala, menatap langit, tidak percaya akan jawaban Papa.
“Jadi aku sama nilainya kaya kucing?!”
Miaw
Akhirnya sosok itu bersuara.
“Kali ini saberaha hargana?”
“Cuma tiga juta,” lirih Papa.
Aku dan Mama langsung melotot kaget.
“Cuma?!’ seruku dan Mama bersamaan.
“Ini yang paling bagus soalnya. Liat, cantik kan?” Papa mengangkat kandang besi dan mengangkatnya, memperlihatkan kucing itu padaku dan Mama.
Walau kuakui kucing itu cantik banget sih. TAPI YA MASA NAMANYA NABEL JUGA?!