Hi Mom

Rizki Yuniarsih
Chapter #7

Hi Mom 7

 

          Tidak ada yang tau pasti tentang masa depan seseorang. Meskipun semua orang punya mimpi, sebagian orang bisa meraih mimpi, sebagian lagi gagal dan menyesal punya mimpi. Tapi satu hal yang pasti, Tuhan selalu punya rencana lebih indah dari pada mimpi. Banyak bersyukur satu-satunya kunci supaya hidup terasa berguna. Tidak sia-sia. Walaupun banyak juga orang yang menyia-nyiakan hidupnya.

           Mama selalu bilang padaku, apa yang sudah terjadi harus disyukuri. Menyesali suatu hal juga tidak mungkin akan membuatnya kembali. Dulu waktu SMP, aku pernah mendapat nilai lima di ujian matematika. Aku nangis, takut kalau Mama dan Papa marah. Tapi ternyata mereka berdua sama sekali nggak marah. Malah bilang nggak pa-pa. Katanya, nilai cuma sekedar angka, yang penting kan ilmunya.

           Dapat nilai lima atau bahkan nol bukan masalah besar, yang penting kita tau salahnya di mana, kemudian evaluasi, perbaiki, supaya tidak dapat nilai rendah lagi. Begitu juga hidup, tidak perlu menyesali kegagalan, apalagi ditangisi, yang utama adalah memperbaiki kesalahan yang jadi pemicu kegagalan supaya tidak gagal lagi di masa yang akan datang.

           Minggu depan sudah mulai Try Out, aku tidak terlalu khawatir sebenarnya, karena sudah sedikit punya persiapan dalam ujian. Apalagi di tambah dengan kelas tambahan dari sekolah, juga belajar kelompok di rumah.

           Aku, Luna, Bella, Fathan, Dimas dan Jovi sedang diskusi perihal belajar kelompok. Karena minggu depan sudah Try Out, Bella usul kalau belajar kelompok ditambah hari Sabtu dan Minggu juga. Biar lebih siap, katanya. Aku sih setuju-setuju saja, Mama juga nggak masalah, malah senang banget kalau ada teman-temanku di rumah.

           “Gimana?” tanya Bella minta persetujuan semuanya.

           “Nggak enak sih sebenernya sama Mamanya Nabel. Nyiapin makanan terus buat kita, apalagi kalau ini jatuhnya tiap hari, takutnya nanti ngerepotin,” kata Fathan.

           “Gue sih enak-enak aja,” sahut Jovi.

           “Ya itu mah elonya aja yang nggak tau diri, Jov!” seru Luna.

           “Lah nggak ngaca, kemaren yang ngabisin mpek-mpek siapa?” Tanya Jovi nyolot.

           “Siapa?” Luna balik nanya.

           “Elo, lah. Gila!”

           “Dih, orang gue aja cuma makan mpek-mpek dua,” kata Luna .

           “Iye dua. Dua puluh,” sewot Jovi.

           Mereka ribut terus, nggak sadar apa kalau mukanya Dimas udah kesal banget. Iya sih, Jovi sama Luna terkesan nggak akur, tapi kelihatannya mereka berdua asik ribut sendiri. Jadi, perhatian Luna sedikit teralih ke Jovi.

           “Nggak pa-pa kali, kalau belajarnya di rumah gue. malah nyokap gue seneng tau kalau ada temen gue yang main ke rumah. Apa lagi rame-rame gini, soalnya bosen juga kalau yang main ke rumah cuma Luna doang,” ucapku. Mengalihkan topik, supaya Dimas nggak makin panas karena ketidakpekaan Luna dan Jovi.

           “Oh, gitu. Ya udah, gue nggak bakal main ke rumah lo lagi.” Luna mengibaskan rambut pendeknya ke kanan sambil mendengus sampai mengenai wajah Dimas hingga Dimas mengeluh. “Aduh, Yang. Sori-sori.”

           Aku dan yang lainnya ketawa. Tapi bersyukur soalnya Dimas kelihatan nggak marah lagi gara-gara gerakan impulsif Luna yang usap-usap wajah Dimas dengan lembut. Fokus Luna cuma ke Dimas, Jelas Dimas senang banget, soalnya dia sampai senyum-senyum gitu. Halah bucin. Mereka nggak sadar kalau aku dan yang lainnya menatap mereka berdua dengan ekspresi geli, malu, jijik, ngeri.          

           Aku lanjut makan mie ayam, soalnya tinggal aku doang yang belum habis makanannya. Aku kalau makan sambil ngobrol memang suka lama. Karena fokusnya nggak cuma ke makanan, tapi ke orang yang lagi ngomong, atau fokus ke hal yang aku omongin.

           “Ayang, kamu nggak bosen makan mie ayam terus?” tanya Jovi.

           “Enggak, tuh,” jawabku. “Please deh, Jov. Jangan panggil gue Ayang deh. Ntar dikira gue anak presiden.”

           “Ya terus mau dipanggil apa? Babe? Honey? Bunda?” tawar Jovi disusul tawa, aku yang mendengar juga ikut geli sendiri. “Ntar kamu panggil aku Ayah.” Dia makin terbahak.

           “Jijik, ih. Geli,” ucapku sambil bergidik ngeri.

           “Geli, Jov. Gue aja yang denger geli rasanya. Jijik. Apaan Ayah Bunda, najis,” sahut Fathan.

           “Iri bilang, boss!” seru Jovi, aku lirik dia sinis, setelah itu lanjut makan lagi.

           Hening sebentar, hanya ada suara yang aku ciptakan pada saat melahap mie ayam yang sisana tinggal sedikit lagi ditambah suara riuh rendah seperti keadaan kantin biasanya, sampai tiba-tiba suara Bella yang memecahkan keheningan di antara kami.

           “Eh, gimana jadinya?” interupsi Bella,

           “Di rumah gue aja, males keluar-keluar soalnya,” sahutku tidak begitu jelas karena masih ngunyah mie,

           “Kunyah dulu, abisin. Abis itu baru boleh ngomong,” ucap Fathan, aku nangguk, cepat-cepat menghabisi mie yang masih ada di dalam mulutku.

Lihat selengkapnya