Rerumputan hijau yang terhampar di lahan yang tidak seberapa luas telah menguning warnanya, sebab sudah lama tidak terguyur air semenjak kemarau yang datang beberapa bulan lalu. Aku berjalan begitu pelan menikmati pagi yang cukup tenang tidak seperti pagi-pagi yang dulu. Angin berembus tanpa permisi melewati kaki-kaki menjadi terasa semilir sendu. Batu-batu kerikil kecil yang menghalangi langkahku kuhempas menggunakan ujung sepatu.
Hari masih terlampau pagi kala aku menginjakkan kaki di area gedung sekolah. Hanya segelintir murid juga beberapa tukang kebun yang sedang menangani beberapa tanaman yang sudah mulai panjang dahannya, juga ada beberapa yang menyirami bunga-bunga yang sedang kuncup menuju mekar.
Saat tiba di kelas pun satu-satunya penghuni kelas tersebut hanya aku, saat kutengok jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kanan, jarum panjangnya masih berada di angka 4 sedang jarum pendeknya menunjuk arah angka 6.
Sebetulnya, sejak kemarin aku sudah merasa tidak enak badan, perutku rasanya sakit. Aku pikir ini mungkin sakit perut biasa yang biasa dialami perempuan lainnya saat menjelang menstruasi. Tapi kupaksakan saja untuk berangkat sekolah. Aku tidak bilang pada Mama tentang keadaanku yang sebenarnya. Kalau sampai ia tau mungkin saja aku sudah dia ajak ke dokter alih-alih berangkat sekolah.
Aku menghela nafas, menundukkan kepalaku dan menyandarkannya pada meja kayu. Berharap beberapa temanku yang lain segera datang. Tidak, bukannya aku takut, hanya saja, berada sendirian di ruang kosong nan sunyi begini membuatkan terasa semakin menyedihkan. Bergelung dengan kesendirian. Aku tidak terbiasa begini.
Beberapa waktu kemudian bunyi langkah-langkah kaki yang memasuki ruang kelas mulai terdengar. Kepalaku masih menunduk pada meja kayu, jadi meskipun kubuka mata, hanya gelap yang tampak. Suara-suara mulai terdengar saling bersahutan, ada yang menanyakan tugas, beberapa lagi ada yang mulai membicarakan salah satu teman yang ada di kelas sebelah.
Aku diam saja, bagiku tidak terlalu penting mendengarkan percakapan mereka apalagi sampai ikut berbaur. Masih sekitar setengah jam lagi sampai pelajaran di mulai. Aku memilih mengambil headset dari dalam tas dan mendengarkan music. Aku memutar lagu bergenre jazz, tidak terlalu ngebit agar sesuai dengan mood-ku pagi ini.
Try Out sudah dilaksanakan minggu lalu, jadi kemungkinannya hari ini hanya membahas soal-soal Try Out yang kemarin kami kerjakan. Aku tidak terlalu berekspektasi tinggi mendapat nilai sempurna di Try Out ini. Tapi setidaknya aku punya harapan kalau nilaiku sepadan dengan perjuanganku dalam belajar untuk menyiapkan Try Out hingga begadang sampai tengah malam.
Suara riuh rendah mengusik telingaku, agaknya sudah banyak yang mulai berdatangan. Aku mendongakkan kepala, melihat keadaan yang entah sejak kapan sudah ramai. Saat mataku tertuju pada pintu, tampak punggung pria paruh baya barus saja keluar dan belok ke arah kanan. Dari postur tubuhnya yang sedikit berisi, orang itu tampak seperti Pak Anwar. Apalagi melihat cara jalannya yang menimbulkan suara karena diseret-seret.
Pertanyaan muncul begitu saja di benakku, kenapa Pak Anwar tidak jadi mengajar di kelasku, padahal ini sudah pukul… 09.10??? Tentu aku dibuat terkejut dengan kenyataan ini. Bagaimana mungkin jam berlalu secepat ini. Aku tidak tau ternyata aku sampai ketiduran, dan selama itu aku tidak sadar. Kenapa juga anak-anak lain tidak membangunkanku? Mataku menyapu seluruh isi kelas yang tampak tidak peduli.
Jujur saja saat aku mengangkat kepala rasanya sedikit berat, macam ada yang menahannya supaya tetap pada posisi di mana kepalaku kurebahkan di atas meja, tubuhku rasanya gerah tapi juga merasa kedinginan disaat yang sama.
“Lo udah bangun?” tanya Fathan yang duduk di belakangku. Kujawab hanya dengan anggukan kepala. Lidahku kelu rasanya saat hendak menjawab pertanyaan sederhana itu. “Mau ke UKS aja?”
Aku menggeleng, menolak tawaran Fathan. Aku tidak sakit, kenapa juga dia menawariku untuk pergi ke UKS? Ya aku tau kalau badanku rasanya sedikit tidak enak, ya mungkin saja itu karena aku tidur dengan posisi yang tidak benar? Mungkin saja. Tapi detik berikutnya tiba-tiba saja rasa pusing menghantam kepalaku. Rasanya berat sekali, aku sampai tidak bisa menahannya barang untuk melihat ke papan tulis.
Pelan-pelan, kurebahkan kepalaku di atas meja. Kupwjamkan mataku, barangkali kalau kupejamkan mataku barang sebentar saja, pusing itu bisa hilang. Kurasakan ada tangan yang menyentuh leherku. Saat kutengok ternyata adalah tangan Bella yang entah sejak kapan sudah ada di sampingku. Padahal beberapa saat lalu dia masih bercengkerama dengan Dewi dan yang lainnya di pojok kelas.
“Badannya panas,” ucap Bella lirih tapi masih bisa kudengar dengan jelas.
Satu tangan lain menyentuh pundakku, mengguncangnya dengan begitu pelan. Kemudian suara berat yang sangat kuhafal itu memanggil-manggil namaku. Aku hanya bisa mengerang merespon panggilan Fathan. Entahlah, semuanya tampak dan terdengar tidak begitu jelas. Rasa pusing dan sakit perut yang tiba-tiba aku rasakan ini membuatku tidak rensponsif seketika.
Badanku lemas, rasanya selutuh otot yang kupunya tiba-tiba hilang begitu saja. Tidak berdaya, menggerakkan jariku pun rasanya agak menyiksa. Kelopak mataku pun tampaknya mulai ikut tidak berdaya. Rasa-rasanya mata ini ingin selalu dalam keadaan tertutup. Entahlah aku tidak tau apa penyebabnya.
Aku masih sedikit sadar saat bahuku diguncang cukup cepat, namun masih terbilang lembut dan tidak terasa kasar. Kupaksakan diriku untuk selalu membuka mata. Tapi kian kupaksa pandanganku malah kian menggelap. Semuanya menghilang begitu saja.
…