Tiga hari sudah aku dirawat di rumah sakit hingga kondisiku semakin membaik. Hari ini aku sudah berangkat ke sekolah. Seperti biasa aku berangkat diantar oleh Papa. Tadi aku sarapan dengan nasi goreng spesial buatan Mama dengan telur ceplok dua serta sosis goreng yang bentuknya mekar macam bunga.
Luna dengan rambut panjangnya yang tergerai indah serta mata yang menyipit saat bibirnya tersungging senyum berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya. Aku yang sadar kalau sebentar lagi ia sampai padaku dan ingin memelukku, kuarahkan kakiku ke lain arah supaya tidak bisa dijangkau olehnya.
Dia cemberut ketika menyadari penolakanku. Dari belakang ia mendorong bahuku, tidak keras tapi berhasil membuatku terhuyung ke depan.
“Songong banget jadi orang!” kalimat pertama yang ia ucapkan pagi ini untukku. Aku diam saja sambil terus melangkah meninggalkannya. “Eh, tuyul. Wah parah banget lo ya. sembuh dari sakit songongnya nggak ketulungan. Biadab bener lo jadi temen.” Luna mengoceh panjang lebar, aku tidak meresponnya sedikit pun.
Luna mensejajari langkahku, deru nafasnya ia buat menggebu-gebu. Matanya melirik sinis padaku. Tak mau kalah aku pun melirik sinis padanya.
Aku menghentikan langkah, dia juga ikut berhenti. Aku agak menjauh darinya kemudian melipat tanganku di bawah dada. Keningku mengernyit. “Siapa ya?”
Luna mengetuk dahiku dengan tangannya yang ia kepalkan. Akku mengaduh meski rasanya tidak sakit. “Orang sombong macam lo gini mestinya dikirim ke ragunan aja, biar bersosialisasi sama orang utan rambut pirang.”
“By the way, rambut lo juga pirang,” jawabku.
“Tapi gue bukan orang utan!”
“Iye. Orang gila!”
“Eh monyet ya lo dasar!”
“Apa-apaan lo ngatain bebeb gue monyet?!” Jovi tiba-tiba saja menyahut, dia sudah berdiri diantara aku dan Luna.
“Ini bedebah satu ngapain sih pake ikutan segala!” Luna mencibir. Rambutnya yang tergerai hingga ke depan dada ia hempas dengan tangannya membuat rambut coklatnya kembali ke belakang.
“Tuh mulut kagak pernah dicipok balsam kali, ya. enteng bener kalau ngata-ngatain orang.”
Luna berkacak pinggang, sudah pasti perseteruan lidah antara Luna dan Jovi akan dimulai lagi sepagi ini. Aku menghela napas gusar. Padahal, aku dan Luna tadi hanya bergurau saja, tidak bertengkar betulan. Tapi Jovi malah meladeni Luna yang kadang tidak bisa mengontrol ucapannya jika dalam mode kesal.
“Apa?!” tantang Luna pada Jovi. Menggulung seragamnya di bagian lengan, layaknya preman yang siap-siap mulai tawuran.
Jovi ikut berkacak pinggang. Kepalanya agak sedikit ia dongakkan. Banyak siswa-siswi lain yang berlalu lalang padahal, beberapa di antara mereka malah menjadikan kami tontonan.
“Oh, berani lo sama gue?!” Jovi tak kalah ikut menantang Luna. Kakinya maju selangkah, membuatnya semakin dekat dengan Luna. Jangan sampai Dimas melihat ini. Aku tidak mau kalau Luna dan Dimas bertengkar lagi gara-gara Jovi.
“Kagak!” jawab Luna dengan lantang sambil geleng kepala. Aku yang sedari tadi hanya diam saja memperhatikan mereka langsung tertawa seketika begitu mendengar jawaban Luna. “Lo tuh ya, beraninya sama cewek.” Suara Luna sedikit melunak.
“Lah buset, lo duluan yang ngajak ribut sama gue.”