Aku menyapu kuas ke seluruh permukaan wajah, mengoles masker varian cokat yang harumnya enak banget. Besok, ada acara keluarga di rumah saudara, sudah pasti saudara-saudaraku yang rumahnya jauh sekali pun akan datang karena sudah lama tidak berkumpul sejak beberapa tahun lamanya. Saat terakhir kali arisan keluarga terlaksana aku masih sangat kecil.
Jadinya, malam ini aku maskeran supaya besok aku bisa terlihat tidak jelek-jelek amat. Kita nggak pernah tau bagaimana mulut saudara kita itu bekerja, jaga-jaga kalau ada yang nyinyir, memberi komentar tentang penampilanku.
Setelah selesai mengoleskan masker ke seluruh wajahku, aku menuju kasur sekedar untuk merebahkan tubuh, aku men-scroll social media sambil menunggu maskerku kering. Sebisa mungkin aku menjauhi konten-konten lucu supaya tidak tertawa, bisa-bisa nanti maskerku bisa retak.
“Nabeeel,’" panggil Mama sedikit berteriak.
“Yaaa,” aku keluar kamar, mengindahkan pangggilan Mama, menghampirinya yang sedang duduk manis sambil menatap layar televisi tanpa membasuh dulu masker yang masih menempel di wajahku, biarkan saja, “Kenapa?” tanyaku agak sedikit susah membuka mulut karena maskernya perlahan mulai mengering.
“Allahu Akbar,” menyebut nama Tuhan, Mama kaget dengan penampilanku saat ini. “Si Abel geus dikasih mamam belum?”
“Lah, nggak tau.” Aku mengedikkan bahu. “Aku mana sempet ngurus kucing.”
“Ya emang kamu kira Mama sempet juga ngurus kucing, kamu pikir teh Mama nganggur?”
“Lagian Papa kemana sih? punya peliharaan nggak mau ngurus,”
“Papa kamu kan emang suka gitu, melihara-melihara doang, ngurusnya sehari dua hari, seterusnya Mama juga yang ngurus. Kalo dibilangin marah, nggak terima. Capek Mama ih, dikira yang kerja cuma dia doang, apa?”
“Ya kenapa ngomelnya ke aku?”
“Siapa yang ngomel, Mama kan kalo ngomong emang suka gini intonasinya,” kata Mama. Aku hanya cuma diam saja, tidak mau menyahut, takut kalau nanti malah kena semperot. “Ya udah sana, kasih makan si Abel.”
Aku langsung berdiri tanpa menjawab Mama. Aku mengisi mangkuk Abel dengan makanan kucing, tidak lupa kuganti air minumnya. Abel yang tadinya sedang duduk di bawah meja makan langsung berlari ke arahku kala mendengar suara sereal kucing yang kutuang ke mangkuknya. Aku tersenyum saat dia begitu lahap memakan makanannya.
Aku mengelus punggungnya selama dia menikmati makanannya, aku kira Abel bakal marah kalau aku mengganggunya sedang makan, tapi ternyata tidak.
Suara mobil membuatku berhenti membelai bulu halus Abel. Aku berdiri, berjalan menuju ruang tamu untuk melihat siapa tamunya. Mama sudah ada di teras, tangannya masih memegang remot.
Saat kulihat dari jendela, ternyata itu mobil A’ Chandra. Mbak Nadia keluar terlebh dahulu dari kursi penumpang depan. Ia menggendong Alil yang sudah mulai besar, disusul A’ Chandra yang keluar dari kursi kemudi.