Pagi jam 8, aku, Mama, Papa, A’ Chandra, Mba Nadia dan Alil sudah tiba di kediaman Om Jefri. Sudah banyak saudara yang tiba lebih dulu. Beberapa mobil diparkiran di pinggir jalan atau bahkan di pelataran rumah orang.
Mama dan Papa menyapa saudara-saudara yang sudah tiba lebih dulu. Begitu pun A’ Chandra dan Mba Nadia. Aku juga turut menyalami semuanya. Rumah Om Jefri untungnya luas, jadi meskipun ada puluhan orang tetapi tidak terasa sesak.
Sebagian ada yang di ruang tamu, kebanyakan orang tua khususnya bapak-bapak. Sedangkan yang di halaman depan dipenuhi saudara-saudaraku yang masih muda kebanyakan sih Om-Omku yang masih lajang. A’ Chandra, Mba Nadia dan Alil langsung bergabung dengan saudara-saudara yang ada halaman depan. Mama langsung menuju dapur, membawa kue-kue yang kemarin lusa kami buat.
“Nabel!” aku menengok ke sumber suara, ternyata Teh Dila, dia sepupuku yang cukup dekat denganku. Aku menghampirinya di ruang keluarga bersama sepupu-sepupu yang lain.
Ada Edo, Teh Mawar, Ine, Yaya, Naswa, A’ Reno, Freya dan satu lagi tapi aku tidak tahu namanya, bahkan rasanya aku belum pernah bertemu dengannya. Aku dan mereka usianya tidak terlalu jauh. Teh Mawar, A’ Reno dan Teh Dila saja yang sudah duduk di bangku kuliah. Aku menyalami semua sepupuku yang ada di ruangan itu. Setelah selesai aku langsung duduk di samping Teh DIla,
“Baru dateng, Bel?” tanya Teh Dila.
“Iya, macet tadi di jalan. Biasa lah,” jawabku.
“Kamu udah kuliah belum sih, Bel?” tanya A’ Reno.
“Tahun ini, doain aja lah ya, semoga masuk,” jawabku.
“Udah pendaftaran emangnya?” tanya Teh Mawar.
“Belum, kayanya bentar lagi deh SNMPTN mulai dibuka. Tapi aku masih bingung mau ambil jurusan apa,” kataku.
“Kamu IPA atau IPS sih?” tanya A’ Reno.
“IPA.”
“Ambil matematika murni aja, atau teknik,” usul A’ Reno. Di antara semua sepupuku memang hanya A’ Reno yang kepintarannya menonjol. Dia seringkali ikut olimpiade matematika saat masih SMA. Dia juga pernah mengikuti program student exchange ke Australi.
“Buset, bisa botak aku kalau ambil matematika,” jawabku mengejek diri sendiri.
“Dokter hewan aja, Bel. Papa kamu kan suka banget sama binatang,” ucap Teh Mawar disusul tawa yang lainnya juga termasuk aku. Semua saudaraku tau kalau Papa itu hobi memelihara hewan, jadi tidak heran kalau Teh Mawar tau.
“Nggak tau deh, aku juga belum tanya soal ini sama Mama Papa,” kataku.
Hening sejenak, tapi setelahnya Teh Mawar kembali bersuara, mengeluh tentang judul skripsi yang tak kunjung disetujui, bahkan katanya beberapa kali ia harus mengganti judul yang setidaknya mudah untuk meneliti. Aku yang belum paham dunia perkuliahan hanya bisa diam menyimak pembicaraan mereka.
Edo, Ine, Naswa, Yaya dan Freya sibuk bermain ponsel mereka masing-masing. Mungkin karena mereka merasa masih kecil jadi hanya diam saja tanpa mau ikut gabung dalam percakapan kami.
Edo bangun dari rebahannya, ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia berdiri dan hendak meninggalkan ruang keluarga, tapi sebelum Edo benar-benar meninggalkan kami, A’ Reno menanyakannya terlebih dahulu.
“Kemana Do?”
“Keluar,” jawab Edo singkat tanpa menoleh pada A’ Reno, lalu punggungnya benar-benar menghilang dari pandanganku.
“Keluar, yok. Gabung sama yang lain,” ajak A’ Reno kemudian beranjak dari duduknya. Diikuti perempuan yang aku tidak tau siapa namanya.
Yang lainnya termasuk aku mengikuti A’ Reno di belakangnya. Aku ada di belakang sendiri bersama Teh Dila,
“Itu tadi yang di sampingnya A’ Reno siapa, Teh?” bisikku takut kalau yang lainnya mendengar, soalnya nggak enak kalau mereka kira aku tidak kenal saudara sendiri.
“Itu Mela, pacarnya A’ Reno,” jawab Teh Dila dengan suara yang tak kalah pelannya dengan suaraku.
Bibirku membulat kemudian mengangguk. Pantas saja aku masih terasa asing dengan orang itu, lagi pula tadi A’ Reno duduknya dekat sekali dengan pacarnya dan pacarnya cuma ngobrol berdua dengan A’ Reno saja. Mungkin dia masih malu untuk dekat dengan keluarga besar A’ Reno.