Hi Mom

Rizki Yuniarsih
Chapter #15

Hi Mom 15

           Sore ini langit dihiasi warna jingga, namun matahari tampaknya belum mau tenggelam. Aku baru saja selesai mandi, duduk di teras depan berteman cookies coklat yang aku beli sepulang sekolah tadi.

           Suara anak-anak kecil bercanda ria memenuhi telinga. Dari tempatku duduk, anak-anak itu terlihat tertawa tanpa beban saat salah satu bocah berkaos merah bertubuh gempal berjoget heboh di tengah-tengah mereka. aku bahkan hampir terbahak sebelum ponsel yang kutaruh di atas meja berbunyi. Menampilkan salah satu notifikasi dari aplikasi chatting Kugigit sepotong cookies sebelum benar-benar membuka pesan itu.

           Fathan: Bel, lo sibuk nggak?

           Enggak. Kenapa?

           Fathan: Gue telfon lo ya?

 

           Belum bilang iya, Fathan sudah menelfonku. Terkejut, buru-buru aku mengangkat telfon Fathan pada dering pertama.

           “Ha—halo?”

           Di seberang sana Fathan terdengar tertawa. “Jangan gugup, Bel.”

           Aku berdeham. “Siapa yang gugup?!”

           “Gue, Bel. Gue yang gugup denger suara lo.”

           “Than, apa-apan sih lo. Cringe banget.”

           Lagi-lagi dia tertawa. “By the way, lo nanti mau ambil jurusan apa?”

           “Nggak tau, deh. Kayanya sih ambil biologi,” aku menjawab. Sebenarnya aku masih canggung karena kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.

           “Nggak mau ambil kedokteran kaya gue?”

           “Nggak deh, takutnya ntar lo nggak keterima kalau gue ikut pilih kedokteran juga.”

           “Dih, sombong. Kan gue yang peringkat satu terus.”

           “Dih. Lo juga sombong. Apaan banget.”

           “Hehe, bercanda kali, Bel.”

           “Lo nelfon gue cuma nanyain ini doang?” tanyaku. Kugigit kembali cookies, remahannya jatuh ke bajuku, kuhempas remahan yang mnegotori bajuku itu dengan salah satu tanganku.

           “Lo berharapnya gimana?”

           “Ha?” Aku benar-benar tidak bisa mengerti maksud perkataan Fathan yang terdengar ambigu, jadi aneh rasanya kalau begini.

           “Ya…sebenernya sih gue mau—“

           Bruk

           “Aaaaa.”

           Aku terkejut, saat seorang bocah berkaos merah tadi jatuh tepat di depan rumahku. Aku melihat dengan jelas kronologi kejadiannya. Dia bersepeda dengan menggunakan satu tangan, tangan lainnya menggenggam sesuatu yang tidak aku tahu apa itu. Ketika melewati polisis tidur sepedanya tidak seimbang, akhirnya badannya ambruk begitu saja bersama sepeda bmx warna biru. Aku buru-buru lari ke depan.

           “Than, udah dulu ya.”

           Tut

           Begitu saja aku memutus sambungan telfon. Aku menghampiri bocah tadi yang tak kunjung berdiri. Bocah itu menangis meratapi sosis berlumur mayonais juga saos yang berceceran, bentuknya sudah tidak karuan di samping sepedanya yang tergeletak tidak jauh dari tempat si bocah itu jatuh terduduk.

           “Apanya yang sakit?” tanyaku begitu aku sampai di depannya. Ku sentuh tangan dan kakinya. Ada lecet kecil di lutut bagian kirinya. “Ini sakit?”

           Dia menggeleng, tapi tangisnya tak kunjung berhenti.

Lihat selengkapnya