“Ha.” Seketika aku dilanda kepanikan. Pasalnya, aku yakin kalau tadi ponselya aku taruh di dashboard. Tanganku mengobrak-abrik dashboard kanan dan kiri, tapi hasilnya tetap saja nihil. Yang kutemukan hanya sarung tangan milik Mama.
Ada yang lebih menyeramkan daripada kena marah guru BK atau film Conjuring apa lagi film Perempuan Tanah Jahanam. Yaitu dimarah Mama karena menghilangkan ponsel. Keringat dingin sudah mengucur deras melewati dahi menuju sisi pipi. Tanganku juga tremor, hampir menangis, kembali kuacak-acak isi dashboard barangkali aku kurang teliti. Nyatanya ponselku lagi-lagi tidak ditemukan.
Aku masuk ke dalam dengan perasaan penuh kegelisahan serta rasa takut yang menggunung. Aku meremas kedua tanganku yang dingin, berharap bisa mengurangi tremor serta meyakinkan diri kalau semuanya baik-baik saja. Aku harus bisa sedikit menahan panas telinga kalau Mama akan memarahiku panjang lebar.
Aku tau aku ceroboh, tidak terlalu memedulikan atau bersikap acuh dengan apa yang kupunya. Kemudian akhirnya baru-baru menyesal setelah menghilang. Sejak dulu aku ingin menghilangkan sifat cerobohku ini, tapi lagi-lagi hal serupa kembali terulang dengan kasus yang beda.
“Ketemu?” tanya Mama. Dia baru saja selesai mencuci piring lantas mengelap tangannya.
Aku diam, duduk di kursi makan. Masih dengan meremas tangan, menguatkan diri sendiri. Menghela nafas, mencoba menetralkan segala perasaan yang campur aduk, memejamkan mata sejenak lalu dengan penuh keyakinan aku menggeleng.
“Kamu taruh mana tadi?” Mama mendekat padaku, tanga kanannya bertumpu pada meja kca sedangkan tangan kirinya memegang sandaran kursi yang aku duduki, tak ada secuil keberanian pun yang ada dalam diriku untuk membalas tatapan Mama barang sekejap saja.
“Dashboard,” jawabku lirih sangat lirih.
“Ilang?!” aku mengangguk membenarkan. Lantas Mama menarik kursi di sampingku dan mendudukinya. “Teledor kamu itu, apa-apa suka sembarangan. Biarin, ilangin aja semuanya itu. Nggak sekalian motor Mama kamu tinggal tadi?!”
“Aku lupa tadi—“
“Iya. Lupa aja terus. Itu kuping kalau nggak nempel mungkin juga udah ketinggalan juga,” Mama menunjuk-nunjuk telingaku. Aku kalut, takut, semuanya bercampur aduk. “Apa dikira duit itu tinggal metik?! Dibeliin HP mahal-mahal diilangin, pake remot aja sana kalau teledor gini.”
“Aku juga nggak tau kalau bakal ilang—“
“Jawab terus!” serunya memburu. Kulihat Papa baru saja keluar dari kamarnya lantas mendekati kamu berdua dan duduk kursi seberang Mama.
“Kenapa-kenapa?” tanya Papa.
“Anak kamu. HP-nya ilang. Teledor. Apa-apa taruh sembarangan. Biarin aja, biar nggak usah punya HP sekalian.”
“Kok bisa ilang?” tanya Papa lagi.