Jalanan pagi ini masih cukup lengang, tidak ada macet yang bisa menghambat perjalananku menuju sekolah. Aku dan Papa hanya saling diam di dalam, fokus dengan apa yang kami lihat masing-masing. Aku lebih memilih melamunkan apa saja yang bisa membuatku melupakan bayangan wajah sedih Mama tadi.
Kulihat bangunan-bangunan di pinggir jalan melalui jendela mobil. Aku bertanya-tanya kenapa semua tampak baik-baik saja ketika perasaanku sedang carut-marut? Kenapa semuanya tampak damai sedang aku masih perang batin antara dua sisi diriku.
Aku tau Papa sedang bersikap dingin padaku, maka dari itu aku masih belum berani untuk menatapnya apa lagi mengajaknya bicara. Aku takut.
“Minta maaf sama Mama,” ucap Papa tiba-tiba. Secara mengejutkan air mataku luruh begitu saja. Aku masih bergeming dengan penuh rasa sesal pada diriku sendiri. Wajahku masih menatap pada luar jendela, menghindari pandangan Papa supaya ia tidak tau kalau aku sedang menangis saat ini.
Aku masih tidak pantas dianggap anak oleh mereka. Anak macam apa yang berani membentak Mamanya sendiri? Anak macam apa yang enggan untuk minta maaf kepada orang tuanya sendiri ketika ia sadar kalau ia salah? Anak macam apa aku ini?
Mobil Papa berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Aku buru-buru membuka pintu, pamit pada Papa lagi-lagi tanpa menolehkan wajahku padanya. Aku keluar begitu saja, tidak ada salaman, apa lagi lambaian tangan.
Sepanjang jalan menuju kelas aku hanya menundukkan wajahku, malu untuk menampakkan wajahku yang tidak sedap dipandang. Sampai di kelas pun aku menyembunyikan wajahku di atas meja dan kututupi dengan kedua lenganku.
Bella langsung bertanya apakah aku baik-baik saja pun hanya aku balas dengan gelengan kepala. Untungnya jam pelajaran langsung dimulai tidak lama kemudian. Jadi aku hanya perlu fokus pada materi, Bella juga tidak perlu repot-repot penasaran tentang keadaanku.
Ketika Pak Tono sedang memaparkan materi juga membahas soal-soal prediksi untuk Ujian Nasional nanti, Bu Sisca—guru Biologi yang juga merupakan wali kelasku masuk ke kelasku dengan mengucap salam. Beliau berbincang sebentar pada Pak Tono, kurasa beliau meminta izin karena telah mengganggu waktu mengajarnya.
“Yang mau daftar SNMPTN bisa ke lab komputer sekarang. Pendaftarannya udah dibuka,” ucap Bu Sisca.
Keadaan kelas jadi gaduh, karena hampir seluruh siswa beranjak dari duduknya hingga menimbulkan suara. Disaat yang lainnya antusias berlarian menuju lab komputer, aku hanya berjalan lesu.
“Dor!” aku terkejut bukan main, disaat aku sedang tenggelam bersama lamunan, Luna malah mengagetkanku seperti biasanya saat ia memergokiku yang sedang terdiam. Aku masih ada di tengah jalan, lab komputer masih sekitar 20 meter di depan. Luna merangkulku yang sedang mengelus dada, menetralkan rasa terkejutku. “Woy! Tumben banget nggak mencaci maki gue waktu gue kagetin. Kenapa sih?”
Aku hanya menggeleng dan terus melangkah. Bahuku masih dalam rengkuhan Luna.
“Kemaren lo nggak bales chat gue, kenapa?” Aku dan Luna menoleh seketika. Tiba-tiba Fathan muncul di sebelah kananku.
“Wadaw jiwa! Ada apa nich kok makin deket aja kalian berdua?” goda Luna sambil menusuk-nusuk pipiku dengan jari telunjuknya.
“Jangan ngaco!” aku menoyor kepala Luna pelan. “Nggak usah ngadi-ngadi.”
“Eh ntar-ntar, ntar dulu.” Luna melepaskan tangannya dari bahuku, dia menghentikan langkahnya membuat aku dan Fathan terpaksa berhenti juga. “Mata lo kenapa deh?”