Aku hampir saja tertidur karena berlama-lama menangis sebelum seseorang membuka tirai bilik yang aku tempati. Aku melihat wajah Fathan di sana, dengan wajah datarnya, namun tatapannya teduh, menenangkan. Aku mendadak diam dan seolah semuanya terhenti, kami hanya saling tatap sebelum aku tersadar kalau aku harus mengkondisikan wajahku. Segera aku menghapus air mataku.
Fathan mendekat, duduk di tepian ranjang. Seketika aku bangkit dari posisi rebah, duduk menghadap Fathan dengan kaki yang ku silangkan.
“Kenapa lo ke sini?”
“Udah baikan?”
“Gue nggak sakit. Lo dikasih tau Jovi kalau gue di sini?”
Fathan hanya diam saja. Memperkuat asumsiku bahwa Fathan tau keberadaanku dari Jovi Ternyata anak itu nggak sepenuhnya bisa dipercaya.
Kami hanya saling diam, yang terdengar hanyalah bunyi detik jam dinding. Aku hanya memainkan jari-jariku, biasanya aku sedang memainkan ponsel kalau keadaannya canggung gini. Tapi sayang ponselku hilang. Lagi-lagi aku teringat kejadian semalam, aku hampir menangis lagi sebelum akhirnya Fathan mengeluarkan suara.
“Bel?”
“Hm?” aku menatap tepat pada matanya yang teduh. Lalu entah kenapa aku malah salah tingkah ketika kami saling tatap. Aku mengalihkan perhatianku pada kakiku sendiri.
“Kita sebagai anak memang nggak akan pernah sempurna, jadi orang tua pun kadang ada salahnya. Gue bahkan sering adu mulut sama bokap atau nyokap karena mereka dan gue kadang nggak sependapat. Atau kadang kita berantem karena mereka suka banding-bandingin gue sama Abang gue.” Fathan merubah posisi duduknya, kedua kakinya ia naikkan ke atas, duduk bersila seperti yang aku lakukan.
Entah perasaanku saja atau gimana, tapi sepertinya Fathan tau masalahku dan Mama. Sekilas aku menatap Fathan lagi, tapi ujung-ujungnya pun aku menyerah untuk menatap Fathan berlama-lama.
“Kayanya lo tau masalah gue. Dari mana?” tanyaku.
“Bukan itu yang penting,” katanya datar tapi penuh kelembutan. “Lo cuma perlu minta maaf sama Mama lo. Apa lagi masalah kalian cuma hal sepele.”
“Gue takut,” jawabku lirih. Terdengar dia mengembuskan nafas, aku menatapnya lagi. Kali ini dia senyum. Jantungku! Aku lagi-lagi menunduk.
“Entah lo takut, atau malu atau bahkan gengsi, intinya lo harus minta maaf. Gue yakin lo sadar kalau lo salah.”
“Gue…juga nggak tau. Tapi rasanya aneh kalau gue minta maaf sama nyokap. Sebelumnya gue nggak pernah gini, gue belum pernah bikin nyokap gue…” kalimatku terhenti saat aku kembali nangis. “Nangis.”
Aku tersentak saat Fathan tiba-tiba mendekat padaku, mengusap pipiku yang banjir air mata dengan dasi yang ia kenakan.
“Lo nggak tau, mungkin aja sebenarnya nyokap lo juga merasa bersalah, sedih karena nggak nyangka anaknya yang paling cantik ini ngebentak dia—“ Aku menarik dasi Fathan cukup kencang hingga ia mengaduh, tapi setelahnya dia tertawa.
“Emang bener ‘kan lo anaknya nyokap lo yang paling cantik? Karena lo anak cewek satu-satunya.”
“Iya! Tapi lo nggak perlu bilang gue cantik. Geli, tau nggak?!”
Fathan tertawa, tangannya kanannya terangkat kemudian mengacak rambutku. Aku terpaku. Ini kenapa rambutku yang diacak-acak malah hatiku yang berantakan? Jantung, kamu harus kuat.
Aku meraih tangan Fathan dan menjauhkannya dari puncak kepalaku.
“Than, jangan gini lagi,” ucapku gemetar.
“Kenapa?”
“Gue deg-degan,” jawabku jujur. Entah lah, aku tidak bisa bohong dengan apa yang aku rasakan. Aku terlampau jujur. Tapi setelah aku sadar aku mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya aku ucapkan, aku malah merasa malu saat ini.
Aku melihat wajahnya yang sempat tegang, tapi kemudian ia terlihat santai.
“Lo terlalu jujur, gue kaget,”ujarnya. Dia menatapku lekat-lekat. “Muka lo merah, apa lo malu?”tanya Fathan dengan senyum yang meledek,
Aku buru-buru meraih bantal yang ada di belakangku dan segera kugunakan untuk menutupi wajahku. Aku memekik tertahan, aku malu. Fathan sialan. Aku mendengar dia tertawa pelan.
“Kenapa ditutupin Bel?”