Matahari bersinar terik sore ini, kendaraan umum menjadi yang paling dicari oleh anak-anak yang baru pulang sekolah sepertiku. Butuh setidaknya kurang lebih lima menit, ojek online yang kupesan akhirnya sampai. Jujur saja aku tidak ingin berlama-lama berada di sekolah, takut kalau aku akan bertemu Fathan.
Aku tidak membencinya, hanya saja aku masih malu untuk sekedar berhadapan dengannya. Setelah dia mengungkap sesuatu yang buatku terkejut tadi di dekat toilet, lagi-lagi aku hanya bisa kabur. Aku langsung ke kelas, duduk di samping Jovi yang tidak punya teman sebangku. Dan selama pelajaran pun aku selalu duduk dengan Jovi, meskipun Bella tadi sempat menanyakan alasanku pindah bangku aku hanya menjawabnya dengan kata ‘Nggak apa-apa, pengin aja.’
Sebetulnya aku merasa tidak enak hati kepada Fathan lantaran selalu kabur darinya, aku takut menyinggung perasaannya. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa begitu dia mengucapkan hal tersebut tadi.
Ojek online yang ku tumpangi akhirnya tiba di depan rumah, begitu melepas helm dan menyerahkannya kepada Bapak Ojek, aku melangkah ragu. Mama sudah pulang, aku tahu karena motor yang biasa ia kendarai untuk pergi ke pasar kini sudah terpakir di depan garasi.
Pintu depan terbuka lebar, meski begitu aku masih tidak bisa melihat keberadaan Mama. Kulepas sepatu hitam dan menaruhnya di rak sepatu dekat pintu. Lagi-lagi aku melangkah ragu, yang kutangkap begitu masuk ke dalam rumah hanya hening.
Mengendap-endap, kuintip dapur yang ternyata kosong. Mama tidak ada di sana. Sempat kecewa karena tidak menemukannya di sana. Balik badan, aku berniat langsung masuk ke dalam kamar, tapi begitu melewati kamar Mama yang pintunya sedikit terbuka aku jadi ingin melihatnya barang sebentar saja.
Lagi-lagi yang kudapatkan hanya kekosongan, tidak ada Mama di dalam sana. Aku mengembuskan napas kecewa menatap sendu pada keramik dingin. Kupegang tas yang terjulur erat-erat, kaki yang masih terbalut kaos kaki putih hanya menapak dengan langkah berat.
Aku terdiam sejenak begitu menyadari pintu kamarku yang sedikit terbuka, seingatku tadi, aku sudah menutupnya rapat. Benakku langsung memikirkan tentang Mama. Apakah Mama ada di dalam sana?
Pelan dan tanpa suara, kaki kaki kecilku melangkah bersama dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan. Aku gugup, takut, sedih. Berharap waktu ini tidak ada, lanjut melompat pada masa di mana aku dan Mama baik-baik saja.
Pintu yang kubuka menimbulkan bunyi meski aku membukanya penuh hati-hati. Mama yang sedang duduk di tepian ranjang langsung menengok ke arahku, pun sama seperti yang aku lakukan. Sepersekian detik kami hanya saling tatap.
Matanya menatapku teduh, tecetak jelas bahwa di matanya masih sedikit berair, pun hidungnya semerah jambu air.
“Udah pulang?” tanyanya begitu, suaranya sedikit bergetar. Perasaanku mencelos begitu saja saat melihatnya tersenyum simpul, lantas ia menepuk sisi ranjang yang kosong, tepat di sebelahnya. “Sini.”
Sedikit ragu, tapi aku tetap mendekat lalu duduk di sampingnya. Kami terdiam hingga beberapa saat sebelum akhirnya Mama mengulurkan sebuah paper bag berukuran sedang. “Mama minta maaf, ya Bel,” ucapnya yang begitu kentara kalau Mama menahan tangis yang mungkin bisa membuncah begitu saja. Tapi sia-sia, Mama akhirnya menumpahkan air matanya.
Aku tercekat, tidak mampu mengeluarkan sepatah kata. Membiarkan bulir demi bulir air mata jatuh mengurai melewati pipi. Aku belum menerima paper bag itu, hanya melihatnya dengan lamat-lamat. Kemudian pandanganku terarah pada wajah Mama yang sama basahnya.
“Ini ambil,” suruhnya dengan senyum di antara tangis yang menguar.
Aku mengangguk, dengan patuh aku mengambil paper bag itu. Kukeluarkan kotak yang ada di dalamnya. Ponsel! Mataku terbelalak tentu saja. I don’t even expect that I’ll get it. Aku tidak perlu ponsel, aku hanya perlu meminta maaf padanya. Tapi malah Mama duluan yang melakukan itu.
“Makasih banyak Ma, padahal aku bisa pake hape Papa yang lama, atau pake remot juga nggak apa-apa,” ucapku masih dengan tangis yang sesenggukan.
Mama malah tertawa di antara tangisnya yang menguar.