Katanya, setiap pertemuan akan ada perpisahan. Katanya, hidup adalah tentang ditinggal dan meninggalkan. Katanya, hidup adalah tentang temu dan rindu. Tapi yang membuatnya semakin menyedihkan adalah rindu pada sosok yang tidak akan pernah ditemui lagi. Dunia terlalu kejam untukku yang lemah.
Tapi Tuhan tidak pernah kejam pada si lemah ini. Tuhan membiarkan Mama selamat, meski belum sembuh sepenuhnya. Aku harus berterima kasih pada-Nya sebanyak mungkin dan banyak mensyukuri hal-hal baik yang aku dapati hari ini.
Mama baru saja sadar setelah hampir dua jam lamanya ia berbaring di atas bangsal rumah sakit. Selama Mama ditangani oleh dokter, Jovi yang menenangkan tangisku. Bahkan dia juga yang menghubungi Papa juga A’ Chandra bahwa Mama baru saja dilarikan ke rumah sakit. Sementara aku menangisi keadaan Mama.
Setelah melakukan pemeriksaan cukup lama tadi, dokter bilang kalau asam lambungnya Mama naik. Makanya dadanya terasa sesak. Aku bahkan baru tau kalau Mama punya riwayat asam lambung sepenuhnya. Karena memang selama ini Mama tidak pernah telat makan. Aku rasa Mama belum makan sejak siang tadi. Makanya asam lambungnya kambuh.
Sekarang kamar yang Mama tempati disesaki oleh saudara dan kerabat yang datang. Tempat yang harusnya tenang malah dibuat berisik oleh orang-orang. Aku sendiri sedang menyuapi Mama dengan bubur yang tadi diantarkan oleh salah satu perawat rumah sakit.
“Buburnya nggak enak, ‘kan?” tanyaku bercanda. tapi aku tahu benar kalau makanan rumah sakit itu rasanya hambar. No micin, pokoknya.
Mama menggeleng “Enakan buburnya Pak Kumis. Ada ati ampelanya,” jawab Mama disusul tawa.
“Apa lagi kalau daun bawangnya dibanyakin,” imbuhku yang juga terkekeh. “Makanya jangan sakit biar bisa makan bubur ayamnya Pak Kumis lagi.”
“Besok Mama sembuh, tenang aja. Tapi nanti kamu traktir Mama sarapan bubur ayamnya Pak Kumis ya selama tiga hari.”
“Tujuh hari juga nggak apa-apa. Nanti aku minta uang Papa,” kataku. Aku menyodorkan sesendok bubur ke mulut Mama yang terbuka.“Masih sesak nggak dadanya?”
Mama menggeleng pelan, bibirnya yang pucat tersenyum simpul sambil menatapku teduh. Hingga buatku terenyuh.
Aku menyuapinya hingga tandas, kemudian mengembalikan mangkuk yang sudah kosong itu di atas nakas. Setelahnya aku memijat pelan tangan Mama yang sudah tidak sedingin tadi. Sungguh aku merasa sangat lega saat Mama sudah membuka matanya.
“Kamu udah makan?” tanya Mama.
Aku bimbang saat mau menjawab. Pasalnya aku sedari pulang sekolah tadi hingga malam ini belum sempat makan karena kepikiran Mama terus. Tapi kalau aku bilang aku belum makan, pasti Mama akan menyuruhku untuk makan dulu, padahal saat ini aku masih belum selera.
“Belum makan ‘kan?” tebak Mama. Aku hanya nyengir saat Mama sepertinya tau kalau aku belum mengisi perutku dengan makanan, “Makan dulu sana, di sini kan rame.”
“Makan dulu, Bel,” ujar tante Aas—Maminya Jovi yang sudah datang dari tadi. Jovi langsung mengabari Maminya begitu Mama sampai di rumah sakit. Jadi, Tante Aas adalah yang pertama datang di antara yang lainnya.
“Nanti aja,” jawabku.
“Bel. Nanti kamu malah ikutan sakit, loh. Udah sana buruan makan dulu di kantin apa di luar terserah. Minta anterin Pian aja,” suruh Tante Aas. Pian adalah nama panggilan Jovi di kalangan keluarga.
Sebenarnya aku itu agak ingat kalau punya saudara yang bernama Pian meski samar-samar. Makanya nama Jovi itu asing bagiku, jadi tidak kusangka kalau Jovi adalah nama lain dari Pian—saudaraku. Kenapa aku baru ketemu Jovi di acara keluarga di rumah Om Jefri kemarin? Karena dulu Jovi memang tidak ikut Maminya. Jadi setiap ada pertemuan keluarga Jovi tidak ada, oleh sebab itu aku tidak tau kalau Jovi saudaraku.
Mami Papi Jovi bercerai sejak Jovi masih kelas tiga sekolah dasar. Begitu orang tuanya berpisah, dia ikut dengan Papi dan Mama tirinya hingga ia lulus SMP. Satu tahun setelah perceraian, Maminya Jovi menikah dengan Papi tirinya sekarang kemudian lahirlah adik—beda bapak—Jovi yang bernama Jovan. Jovi ikut dengan Maminya ketika memasuki SMA. Kata Mama sih begitu.
“Piaaan!” panggil Tante Aas pada Jovi yang sedang duduk di luar bersama yang lainnya. Berhubung kamar inap Mama sekarang dipenuhi ibu-ibu, maka sisanya yang kebanyakan bapak-bapak duduk-duduk di luar.
“Yaaa,” sahut Jovi, lalu setelahnya ia sudah muncul di ambang pintu kamar. “Kenapa?”
“Anterin Nabel makan, kasian belum makan.”
“Aku makan nanti aja, tante. Belum laper soalnya,” kataku menolak halus.
“Laper nggak laper ya harus diisi perutnya, Bel.” Tante Aas sepertinya tidak bisa dibantah, meskipun aku takut juga kalau membantahnya.
“Hayuk, Bel,” suruh Jovi.
Mau tidak mau ya aku harus menuruti perintah mereka. Percuma juga kalau aku membantah. Aku berdiri dari duduk, sebelum pamit pada Mama kalau aku akan keluar untuk makan.
Kami menyusuri koridor rumah sakit, heran karena kelihatannya rumah sakit tidak pernah sepi bahkan area parkiran dipenuhi banyak kendaraan. Terlihat beberapa perawat yang berjalan dengan terburu-buru, bahkan ada dokter yang berlari dengan wajah paniknya.
Kagum dengan kinerja mereka yang tampak professional. Menangani tidak hanya satu atau dua pasien dalam sehari, tetapi puluhan melihat banyaknya kamar rawat yang selalu penuh. Sejak kecil aku punya cita-cita jadi dokter karena dulu aku sering sakit, sering bertemu dokter. Apa lagi dokter yang menanganiku selalu ramah dan murah senyum. Memakai jas putih dan berkalungkan stetoskop, menurutku itu adalah seragam paling keren yang pernah aku lihat.
“Iye dokternya ganteng, gue tau. Lo nggak usah malu-maluin gue deh.” Jovi berujar cukup kencang membuat beberapa orang yang berpapasan dengan kami menengok seketika, teknisnya malah aku yang dibuat malu oleh dia.
“Lo tuh kalau ngomong bisa pelan nggak sih, gue yang malu!” aku mencubit pinggangnya membuatnya kesakitan.
“Nggak bisa! Lo tuh gue ajak ngomong dari tadi kagak nyahut, taunya ngeliatin dokter ganteng.”