Aku melotot terkejut ketika melihat Fathan yang benar-benar datang ke sini. Mulutku yang tadinya menggigit cangkang lobster langsung aku keluarkan. Sumpah aku gugup tidak karuan. Setiap kali melihat Fathan atau bahkan ada yang menyinggung tentangnya aku seketika langsung membeku.
“Kalian ngapain di sini?” tanya Fathan. Dia menarik kursi di sampingku. Dari dua kursi yang kosong kenapa dia harus duduk di sampingku sih?
“Makan, lur. Nggak liat?” jawab Jovi.
“Ya maksud gue tumben aja kalian makan di sini.” Aku menunduk saja, menyembunyikan wajahku dari pandangan Fathan. Sangking gugupnya aku jadi susah bergerak. Entah kenapa setelah ada Fathan aku malah jadi salah tingkah. “Dimakan, Bel. Nggak enak, ya?”
Jovi terbahak, aku langsung melotot sinis padanya. Ku tendang tulang keringnya dari bawah meja.
“Sakit, tolol!!” badannya membungkuk, mengusap-usap kakinya yang ku tendang tadi.
“Nyokap lo gimana Bel?” tanya Fathan. Padahal tanganku tadinya mau meraih daging lobster malah berhenti dan menggantung tepat di atas piring, tapi aku berusaha tidak peduli dan sebisa mungkin aku bersikap biasa saja meski tampaknya sulit.
“Udah mendingan,” jawabku singkat. Sebenarnya banyak yang ingin aku ucapkan pada Fathan, tapi begitu melihat Fathan dan fikiranku langsung mengingat kejadian tadi siang aku merasa canggung.
“Sori ya, Bel.” Fathan berujar tiba-tiba.
“Kenapa?” aku secara spontan langsung menatap Fathan.
“Gara-gara gue…” ucapnya menggantung, aku jadi deg-degan menunggu kalimat selanjtnya. Takut kalau dia akan membahas kejadian tadi siang. Aku malu sekali, sumpah. “Nembak lo tadi siang, kita jadi canggung gini. Sori kalau gue suka sama lo malah bikin lo nggak nyaman.”
Bukan ini yang aku inginkan. Perkataan Fathan barusan malah membuatku tidak nyaman. Aku jadi tidak enak hati untuk menghadapinya. Jujur saja aku tidak masalah kalau Fathan menyukaiku, hanya saja aku tidak tau caranya bersikap di situasi seperti itu. Karena memang aku belum pernah pacaran, belum pernah ditembak secara langsung seperti yang Fathan lakukan.
Aku tidak anti dengan yang namanya laki-laki, aku pernah punya pengalaman dekat dengan laki-laki meski tidak sejago Luna yang aku rasa dia ahlinya dalam urusan semacam ini. Tentunya hal seperti ini bukan lagi sesuatu yang tabu bagiku, usiaku sudah cukup untuk memahami ini semua. Hanya saja aku masih belum siap menerimanya ketika aku mengalaminya secara langsung.
Aku menunduk menahan malu, bahkan wajahku hampir saja mengenai piring di depanku kalau saja Fathan tidak memasang tangannya untuk menahan wajahku.
“Depan lo piring, Bel.” Kudengar Fathan terkekeh. Jovi malah terbahak kencang. Tingkahku ini malah membuatku semakin malu di hadapan Fathan.
Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, kedua kaki ku hetak-hentakkan di bawah sana, dua manusia yang berkelamin laki-laki di dekatku ini malah tertawa. Aku hampir saja menangis padahal.
“Ih, gue tuh malu!”
“Nggak apa-apa.” Fathan menepuk-nempuk bahuku, aku semakin membeku. “Udah, lanjut lagi makannya.”
Aku menggeleng.
“Ya udah, buat gue aja sini,” kata Jovi. Aku mendengar suara piring ditarik menjauh dariku. Aku refleks membuka tanganku lantas menarik kembali piring milikku.
“Lo nggak makan, Than?” tanya Jovi. Aku bersyukur, setidaknya situasinya tidak terlalu canggung.
“Enggak. Gue udah makan tadi di rumah.”
Aku kembali menghentikan makanku lalu menatap penuh tanya pada Fathan. “Kalau udah makan, lo ngapain ke sini?” tanyaku.
“Gue kalau tiap malam sering ke sini, mungkin hampir tiap hari.”
Aku semakin terkejut. Bahkan aku melupakan lobsterku. “Ngapain, kerja?” tanyaku.
Dia menggeleng sambil senyum. Senyum teruuuus. “Ini punya nyokap gue,” ucapnya menunjuk ke bawah.
“Mejanya?” tanyaku.
Fathan dan Jovi terbahak. Dengan laknatnya Jovi melempar tomat hingga mengenai kemejaku. “Eh, tolol banget sih. Yang kaya gini masuk lima besar di kelas?”
“Maksud lo?!” aku melotot pada Jovi. “Gue tuh cuma asal ngomong tadi, niatnya bercanda, biar lo semua pada ketawa!”
Bukannya tidak percaya kalau restoran ini milik Fathan, hanya saja aku tidak mau terkejut berkali-kali dalam satu waktu. Tapi ternyata hal ini benar-benar mengejutkanku. Sebelumnya aku tidak tau kalau Fathan adalah orang yang sangat berada. Pasalnya, selama dia bersekolah dia selalu menggunakan motor matic-nya. Dia tidak mencolok seperti Jovi yang hampir tiap hari pamer sepatu baru karena sepatunya kena razia terus oleh guru-guru.
“Halah,” cibir Jovi.
“Kenapa lo bisa tau ada gue sama Jovi di sini? Apalagi kan ini rame banget. Kecil kemungkinannya kalau lo bisa nemuin kita.” Tanyaku.
“Enggak tau sebenernya, tapi tadi Jovi chat gue.”