"Gak, gue sudah cukup muak melihat wajah lo," itu yang ingin kukatakan. Tapi wajah Tara jelas-jelas menunjukkan bahwa ia seribu persen tertarik dengan gadis itu. Berdasar pada jiwa solidaritas, kuanggukkan kepalaku mendukung Tara yang sejak sedetik yang lalu sudah mengangguk heboh. Kurasa setelah ini Tara akan semakin rajin main ke rumahku. Dia benar-benar akan berhutang budi padaku. Well, tidak ada salahnya membantu teman, bukan?
"Lo beruntung banget," bisik Tara saat Vara meninggalkan kami untuk membuat minuman, mungkin sirup atau teh yang pasti bukan racun.
Aku mendelik padanya dengan kesal. Seandainya dia tahu betapa kejinya gadis itu di masa laluku. "Traktir gue bakso besok," balasku ikut berbisik.
Tara segera mengacungkan jempolnya, setuju.
Aku menoleh, memperhatikan tiap sudut rumah yang sangat mirip dengan rumahku. Hanya saja, interior di sini lebih... keabu-abuan(?). Di rumah, Mami memilih desain pucat dengan furnitur kayu warna cokelat. Di rumah ini, nyaris semua furnitur berwarna abu-abu. Sofa warna abu-abu tua, meja kaca berkaki abu-abu, kap lampu berwarna abu-abu juga tapi sedikit lebih gelap dari sofa, karpet bulu dengan corak warna abu-abu dan banyak benda lain yang abu-abu. Jangan lupakan cat dinding yang berwarna abu-abu, hanya divariasikan gelap-terangnya saja. Aku cukup yakin Vara dulunya tak menyukai warna abu-abu. Ia menyukai satu warna yang—menurutku—cukup mengerikan; merah darah.
Aku tersadar dari lamunanku karena sikutan Tara yang kini duduk di kiriku. Aku mengerjap, lalu menyadari kini Vara sudah duduk di hadapan kami, di single sofa yang ada di ujung kanan. "Kenapa? Gue lagi melamun,” ucapku yang langsung disambutan sikutan Tara lagi.
Vara tertawa dengan nada yang jauh lebih ceria dari yang digunakannya dulu sekali. Matanya sekarang dipenuhi binar ceria. "Tidak masalah, bukan topik penting. Radev sampai sekarang masih tetap suka melamun, ya, Tara?" Tanyanya pada Tara yang tampak sangat terkejut saat namanya disebut.
Tara tertawa canggung sebagai balasan. "Yah, begitulah. Dia selalu sok misterius." Ia kini terlihat lebih rileks berbicara dengan Vara, walau menurutku itu masih canggung juga. "Oh, iya! Sha, nanti malam, kita dinner cuma bertiga."
Vara menaikkan kedua alisnya, lalu beralih menatapku. “Cuma bertiga, Dev? Aku, kamu, sama....” gadis itu memejamkan matanya untuk sejenak. Jelas sekali ia lupa nama Tara, seperti biasa ia tidak peduli dengan perasaan orang lain dan bertindak seenaknya, egois. “Tama,” lanjutnya yang jelas sekali salah.
“Gue Tara, Sha. Sepupunya Raka, baru namanya Tama,” kata Tara dengan senyum kecut.
Berbanding terbalik dengan Tara yang jelas sekali kecewa, Vara meringis kecil seolah menyesal. Ingat, hanya seolah. "Maaf, ya, Tar, aku memang pelupa kalau masalah nama orang," katanya dengan seulas senyum.
Tara dengan kebodohannya akibat jatuh cinta langsung mengangguk mengiyakan. Seolah belum cukup terlihat bodoh, ia menambahkan ucapan tak masalah dengan nada berbunga-bunga. Dasar bodoh.
Sebenarnya aku cukup bersyukur ia pada akhirnya menyukai seseorang, karena selama kami saling mengenal ia belum pernah suka atau tertarik pada lawan jenis. Sedikit menyeramkan, karena aku sempat mengira dia mengalami penyimpangan orientasi. Tetapi ternyata tidak, jelas sekali ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada Vara. Tapi, apa tidak ada perempuan lain? Maksudku, Vara lebih mirip iblis dibanding manusia—di mataku.