Honk…honk...
Bunyi klakson mobil dan motor yang bergema di jalan raya yang lebar menandakan orang-orang sedang terburu-buru. Mereka semua pada tergesa-gesa dikarenakan mereka ingin tiba dikantor tepat waktu. Namun sayangnya, kemacetan parah sedang terjadi di kota paling tersibuk di Indonesia. Para pejuang rupiah ini rela bermacet-macetan demi bisa menafkahi keluarga kecil mereka yang sedang menunggu di rumah.
Sudah macet parah di jalan, secara tiba-tiba langit yang awalnya bersahabat kelama-lamaan menjadi musuh, terutama para pengendara motor. Ibarat kata, sudah jatuh ketimpa tangga pula. Hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, terpaksa para pengendara beroda dua pun langsung menepi dipinggir jalan untuk mengeluarkan mantol jas hujan dari dalam jok motor mereka.
“Wah, sudah mulai hujan ya.”
Dia mulai menoleh keluar, memerhatikan hujan yang mulai mengguyur kota metropolitan dari balik kaca jendela mobil. Seorang pemuda yang berpenampilan menarik tersebut ada ikut terjebak macet di dalam mobil Mercedes Benz keluaran tahun 2015. Rafan Alim, pemuda berwajah Sumatera itu tidak duduk sendirian di kursi penumpang. Dia ada ditemani oleh Tante Umi yang saat ini tengah sibuk mengurusi urusan bisnisnya melalui handphone bermerek mahalnya.
“Tante Umi,” panggil Rafan dengan nada lesu.
“Iya Rafan, ada apa?” jawabnya dengan mata masih fokus membaca laporan di layar ponselnya.
Saking sibuknya membaca berkas-berkas yang diberikan oleh staff perusahaannya, wanita berhijab anggun dengan berpakaian gaun mewah berwarna hitam tidak melirik ke arah Rafan sedikit pun. Tante Umi memang dikenal sebagai wanita berkarier yang memiliki banyak bisnis. Dimulai dari usaha kosmetik halal yang mendobrak pasar di Timur Tengah. Selain kosmetik, Tante Umi berniaga juga di dunia retail alat elektronik yang sudah menjadi nomor satu di Indonesia.
Rafan sebenarnya tertakjub sama kehebatan tantenya. Akan tetapi, dia merasa kesepian saja karena jarang melakukan kegiatan menyenangkan bersamanya. Apalagi Rafan adalah seorang anak yatim piatu sejak sekolah dasar. Jadi sebenarnya dia membutuhkan namanya perhatian atau rasa sayang yang selama ini Rafan belum pernah rasakan.
“Kayaknya ini bukan ide yang bagus tante. Rafan masih belum yakin sama konsultasi hari ini tante,” gugupnya sambil memainkan jarinya.
“Mengapa begitu? Bukannya dokter Mayleen orangnya professional? Jika kamu tidak menghadiri konsultasi lagi, penyakit langkamu itu gak akan pulih-pulih Rafan,” katanya sembari membalas pesan-pesan yang numpuk.
Menggigit ujung bawah bibirnya, keringat dingin mulai timbul di dahinya. “Dokter Mayleen memang dokter yang hebat tante. Tapi, Rafan khawatir akan hal buruk yang terulang lagi. Seperti minggu lalu Rafan hampir melukai dokter Mayleen, meski sudah ada perawat laki-laki yang berjaga. Jadi sebaiknya kita batalkan saja konsultasi hari ini tante!”
Tante Umi akhirnya menghentikan ketikannya. Dia letakkan handphone merek Iphone di atas pahanya, kemudian dia menghela nafas dalam sembari melirik ke arah Rafan dengan tatapan dingin. “Gak bisa dong tante batalkan begitu aja konsultasinya. Lagipula ini sangat bagus sekali untuk kesehatan mentalmu. Jadi sebaiknya kamu nurut aja sama perkataan tante. Apakah kamu paham, Rafan?”
Tidak berani untuk membantah, Rafan hanya bisa mengangguk iya. Tiba-tiba dia dapat merasakan dalam dirinya terjadi konflik batin. Rasanya mereka ada mau mengambil alih tubuhnya. Tidak mau tubuhnya direbut begitu saja, Rafan mengambil segera boneka remasan dari kantong jaket denim warna kuningnya. Kemudian dia meremas boneka berwujud panda mungil itu berkali-kali. Merasa tenangan dikit, metode yang pernah diajarkan dokter Mayleen ternyata berguna juga tuk mengendalikan penghuni lainnya.
Terjebak macet hampir 2 jam lebih, akhirnya mereka tiba dirumah sakit megah di daerah Pantai Indah Kapuk. Mobil sedan berwarna hitam itu berhenti di depan lobi, seorang petugas berjas rapih langsung membukakan pintu mobil bagian belakang. Rafan sempat mencium tangannya Tante Umi, kemudian dia lekas turun dari dalam mobil. “Terima kasih tante sudah mau nganterin Rafan, nanti Rafan akan kabari jika sudah selesai.”
“Iya Rafan, nanti Pak Sutris yang akan jemput kamu sendiri setelah nge drop tante di hotel Kempenski. Tante ada diundang untuk menerima penghargaan Wanita Inspirasi Indonesia loh!” katanya begitu bangga.
“Wow, selamat ya Tante Umi atas penghargaannya,” Rafan hanya bisa ikut turut senang.
“Terima kasih keponakanku yang menggemaskan, kamu juga lakukan yang terbaik ya. Tante yakin kamu akan segera pulih dan bisa menjalani kehidupan seperti anak lainnya.” Pintu mobil ada dibantu tutup sama satpam, lalu Tante Umi membukakan kaca jendelanya perlahan-lahan. “Dan ingat! Jangan coba untuk bolos sekolah atau cari gara-gara lagi, kendalikan mereka berdua. Tante sudah tidak kuat lagi menerima banyak teguran dari pihak guru maupun kepala sekolah!” memberitahunya dengan nada dingin sekali.
Melihat ekspresi Tante Umi yang dingin membuat Rafan menelan air ludahnya. “Ah, iya tante. Rafan akan berusaha mengendalikan diri Rafan dan juga mereka.”
“Anak pintar, sampai jumpa saat jam makan malam, Bye-bye!” melambai-lambai kecil, Pak Sutris langsung membawa pergi mobil sedan mewah tersebut meninggalkan Rafan sendirian di depan lobi rumah sakit.
Mobil yang ditumpangi tantenya sudah menghilang dari pandangannya, Rafan masih meremas-remas boneka pandanya. Huh…semoga hari ini dapat berjalan lancar, jangan sampai mereka mengambil alih tubuhku lagi! Menghela sangat panjang, lalu Rafan mulai berjalan masuk ke dalam rumah sakit yang berbentuk kuil.
Menaiki lift menuju lantai 21. Rafan kemudian ada duduk manis di sofa panjang yang tidak jauh dari ruangan dokter Mayleen. Rafan pun mulai merasa tidak nyaman sekaligus ketakutan. Suasana di lorong rumah sakit sangatlah sepi, hanya dia sendiri yang berada di lantai tersebut.
RING…TONG…
Bunyi notifikasi ponselnya ada bikin Rafan terkejut. Dia segera mengeluarkan hape android yang bisa dilipat, kemudian memeriksa pesan yang masuk. “Rafan! Lo lagi konsultasi ya? Semangat ya!” ternyata teman baiknya yang menghubunginya.
Iya, aneh sekali bukan kalau orang seperti Rafan mempunyai seorang teman? Kawannya pun bernama Ganendra Bagas Putranto, atau sapaan akrabnya Bagas. Bagas selalu memerhatikan dia baik luring maupun daring. Meskipun agak berlebihan karena setiap saat selalu ditanya ataupun diperhatikan, namun Rafan merasa bersyukur mempunyai teman sejati seperti Bagas.
“Makasih atas dukungannya Gas. Tetapi jujur aku tidak yakin mengikuti konsultasi ini. Aku tidak pernah sembuh-sembuh dari penyakit langka ini,” balasnya dengan diikuti emoji muka murung.
“Jangan pantang nyerah dong Bro! Gue yakin lo bisa melalui rintangan ini!” Bagas menyemangatinya.
“Kamu ini suka membagikan energi positif ya Gas, aku sangat berterima kasih sekali,” Rafan yang mengetiknya ada tersenyum.
“Oh iya, jangan lupa untuk datang ke sekolah ya setelah konsultasi. Dan jangan khawatirkan soal Titus, gue akan lindungi lo dari si pembully jahat itu!” Bagas memberikan emoji senyuman serta lengan berotot.
Rafan langsung menciut ketika membaca nama Titus. Sosok Titus ini memang paling ditakutkan di sekolahnya, maupun sekolah tetangganya. Dia bisa dibilang ketua preman di daerahnya. Sikapnya yang bengis apalagi dengan tubuhnya yang kekar bagaikan dewa Yunani membuat para siswa-siswa tidak berani untuk melawannya.
Tetapi pernah ada suatu kejadian, dimana Rafan yang lagi tidak sadarkan diri atau lebih tepatnya dikendalikan oleh seseorang, mengalahkan anak-anak buahnya Titus. Rafan sendiri pun tidak percaya bahwa dirinya yang melakukan tindakan keras tersebut. Dikarenakan aksinya yang ceroboh, kini sekarang Titus selalu memerhatikan Rafan, layaknya sebuah mangsa.
“Terima kasih Bagas, aku akan baik-baik saja kok,” membalas pesannya dengan keringat banyak.
“Oke deh kalau gitu! Gue akan kabari guru yang bersangkutan kalau lo ada terlambat masuk. Sampai jumpa di kelas nanti, jangan sampai mereka berdua memaksa merasuki tubuh lo ya!” tutup pesannya dengan emoji senyuman dan jari oke.
“Dengan mas Rafan Alim?” tiba-tiba seorang suster datang mengejutkannya. Rafan hampir menjatuhkan ponsel lipatnya saking kagetnya, kemudian dia memasukkannya ke dalam kantong jaketnya. “Dokter Mayleen sudah bersedia untuk ditemui, silahkan untuk ikuti saya ke ruangan dokter,” pintanya dengan nada sopan.