Hi, Nerd!

Bentang Pustaka
Chapter #1

Bab 1 - Super Bad Dream

Masakan di meja makan keluarga Suharsa berubah dingin. Anak perempuan nomor dua di keluarga itu sedang melancarkan aksi bungkam diri. Ara mengunci diri di dalam kamar. Perutnya lapar, tetapi gengsinya lebih tinggi dari ubun-ubun.

Aksi bungkamnya itu tidak lantas terjadi begitu saja. Sudah semingguan ini Ara memusuhi semua anggota keluarganya. Terutama Tita, kakak perempuan satu-satunya. Baginya, Tita adalah perusak kedamaian hidupnya.

Bu Tiar melarang suami dan putri sulungnya makan duluan. Bu Tiar mewanti-wanti mereka untuk menghargai Ara. “Syarat makan di keluarga Suharsa adalah semua anggota keluarga berada lengkap di meja makan,” tutur Bu Tiar.

Pak Suharsa mulai memanggil-manggil putri ragilnya. Ia hanya ingin Ara segera turun dan duduk di meja makan. Entah ia akan makan entah tidak. Anak itu sudah terlalu sering bersikap bandel, pikir Pak Suharsa. Di saat yang sama, seorang ayah terjebak antara liur yang nyaris menetes karena opor ayam dan keinginan agar putri kecilnya bisa bersikap lebih dewasa.

Sementara itu, Tita duduk di samping kiri ayahnya dengan raut muka masam. Perutnya sudah keroncongan sejak beberapa menit yang lalu. Dan, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengutak-atik layar ponsel sampai bosan. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus itu menahan marah. Setelah makan malam usai, barangkali ia perlu menjitak kepala Ara.

Melihat mumi-mumi kelaparan di sampingnya, Bu Tiar berinisiatif naik ke kamar Ara. Perempuan itu tahu Ara hanya sedang berulah. Dan, solusi satu-satunya adalah membujuknya tanpa marah. Seperti berhadapan dengan anak kecil.

Bu Tiar mengetuk kamar Ara, “Ra, turun makan, Nak. Tita sama Ayah udah nungguin dari tadi.”

Suara langkah kaki terdengar mendekati pintu. Ara memutar kunci dua kali ke arah berlawanan jarum jam. Dan, menekan kenop pintu sampai terbuka.

Andhara Kirana Mahestri berdiri di depan pintu menatap lurus ke arah ibunya. Gadis yang akan naik ke kelas XI SMA itu memamerkan wajah elips tanpa jerawat satu pun. Ia punya alis tebal nan pendek, hidung datar, dan rambut mengembang sebahu dengan poni yang selalu dijepit ke samping. Meski terkesan sempurna, kerut-kerut halus sudah muncul di sekitar matanya. Ia juga punya allergic shiner serupa under-eye-circle yang tak lekang ditelan zaman.

“Yuk turun,” Bu Tiar menutupkan pintu kamar Ara dan menggiring putrinya ke meja makan.

“Akhirnya, keluar juga nih, si Drama Queen,” sindir Tita begitu Ara sampai di tepi meja makan.

Ara menatap kakaknya dengan geram. Dadanya kembang kempis menahan marah yang sewaktu-waktu bisa meledak. Gadis itu merapatkan giginya.

“Lain kali Ra, nggak usahlah akting sok-sok ngurung diri di kamar,” Tita berujar lagi dengan nada sinis, “kasting sinetron aja sekalian! Haha ....”

Mendengar itu, Ara tak mampu lagi menahan kekesalan. Ara memicingkan mata ke arah Tita. Ia benar-benar benci kepada kakaknya. Pembuat onar yang sesungguhnya.

“Sadar diri, dong! Kamu Ta, ngerusak hidupku yang tadinya baik-baik aja. Gara-gara kamu, seminggu lagi kita harus ninggalin Malang dan pindah ke Jakarta. Seneng? Puas?!”

Tita menoleh ke arah Ara. Mereka saling memicingkan mata. Serasa ada sinar laser yang mengambang di udara, keluar dari mata mereka. Pak Suharsa dan Bu Tiar sudah terbiasa dengan suasana makan malam yang selalu sama sejak seminggu yang lalu.

Ara baru saja menelan sesendok nasi opor ayam, kemudian melampiaskan kemamarahnnya, “Kenapa, sih, kebahagiaan kamu bikin orang lain repot? Apa harus banget, kami bertiga ngikutin kamu ke Jakarta? Cuma demi nemenin kamu kuliah kedokteran di sana?!”

Ara sudah tidak tahan. Ia akhirnya menumpahkan kesesakan di dadanya.

Bu Tiar buru-buru menyela sebelum terjadi adu mulut yang lebih dahsyat lagi, “Ara sayang, ibu tahu keadaan ini tidak mudah.”

Ara menyibakkan rambutnya seolah kepanasan. Padahal, ia tahu betul, hatinya yang perlu dicairkan.

“Aku tahu, Bu. Tapi, apa nggak bisa dia ngekos sendiri di sana? Lagi pula itu pilihan dia, kan? Kenapa aku jadi harus ikut? Aku nggak mau, Bu. TITIK!”

Tita yang mendengar itu langsung menyahut, “Ya udah, beli aja rumah ini dan kamu boleh tinggal sepuasnya di sini. Aku, Ayah, dan Ibu tinggal di Jakarta. Puas?!”

Pak Suharsa menepuk pelan lengan kanan Tita seolah ingin menyuruhnya diam. Pertengkaran di meja makan seperti itu sudah barang tentu mengusik ketenangan. Having a son maybe a little better than having daughters, hibur Pak Suharsa dalam hatinya.

“Ara, kamu sendiri tahu kakakmu sering sakit-sakitan. Dan, kuliah di kedokteran itu berat, Nak. Ayah dan Ibu nggak akan melepas Tita untuk ngekos,” Bu Tiar menjelaskan pelan-pelan.

“Terus gimana dengan kerjaan Ayah? Kerjaan Ibu ditinggal gitu aja?” Ara menoleh ke arah Pak Suharsa dan Bu Tiar bergantian.

Pak Suharsa adalah seorang arsitek yang bekerja untuk PT Karya Wisma, sebuah perusahaan jasa rancang bangun dan kontraktor. Ia sudah merencanakan transisi kerjanya dari Malang ke Jakarta. Pak Suharsa ditempatkan di sebuah branch PT Karya Wisma di Jakarta Selatan.

Usai Pak Suharsa menjelaskan, kini giliran Bu Tiar.

“Ibu tidak ada masalah, Ra. Tante Grace, temen lama Ibu juga punya butik di Jakarta. Dan, Ibu sudah atur supaya baju-baju Ibu bisa masuk ke butiknya.”

Ara menghela napas panjang. Menguapkan rasa kesal dan lelahnya supaya paru-parunya terisi udara segar. Ia diam dan melanjutkan suapan demi suapan. Tak ingin tahu apa-apa lagi.

Kelihatannya semua akan berjalan dengan baik. Keadaan tidak begitu berubah bagi mereka. Tapi, kenapa dasar hatiku serasa dicubit? Kenapa aku ... melulu kecewa dan tak terima?

***

Ara bukanlah tipe gadis pemurung melankolis yang suka merenungi nasib di dalam kamar. Gaya premannya di sekolah dan kebiasaan rebelious yang luar biasa sungguh tak setara dengan apa yang dilakukannya pada Minggu pagi ini.

Gadis itu duduk bermalas-malasan di depan meja belajar. Ia menggoreskan pensil berujung runcing di atas selembar kertas. Ara merealisasikan si Pembuat Onar dalam sketch buatannya. The Red “Tita” Queen!

Tita kini menjadi objek sketch Ara. Objek kekesalan dan kebencian yang memuncak. Hingga sangat mudah bagi Ara untuk mengubah wajahnya serupa Red Queen. Kepala besar dengan badan kecil. Wajah putih aneh dengan kedua alis di tengah dahi. Tak lupa, Ara membubuhkan warna biru di antara alis dan mata Tita. Ia lengkapi musuhnya itu dengan rambut berombak warna burgundy yang mengembang seperti permen kapas.

Oke saja dia pintar, cerdas, dan sekarang calon mahasiswi Kedokteran. Tapi, kenapa sih, dia harus ngerepotin semua orang dengan badannya yang lemah itu? Gimana pasiennya kalau dokternya aja sakit-sakitan kayak gitu?

Otak Ara sekarang dipenuhi rutukan-rutukan tak berbentuk untuk kakaknya. Dia bisa saja diam di depan ayah dan ibunya. Tapi, entah kenapa hati Ara terus membombardir Tita dengan berbagai serangan.

Gara-gara tubuh lemahnya itu, semua orang jadi hiperbolis. Semua perhatian cuma boleh buat Tita. Tita dan Tita. Every important things belongs first to her. Mungkin kalau Tita kuliah di kutub utara, seisi rumah juga bakalan ngikut ke sana!

Punya kakak perempuan itu tak nyaman. Itulah yang ada di pikiran Ara selama ini. Perspektif orangtua di mana adik harus mencontoh kakaknya menjadi sarapan membosankan bagi Ara. She and Tita are seriously different. Dan tentu saja, Ara tidak ingin menjadi pengikut kecil di belakang punggung kakaknya.

Dari sekian banyak Fakultas Kedokteran, kenapa juga sih, dia milih di UI? Di Brawijaya emang nggak bisa? Kenapa dia bersikukuh kuliah di luar kota kalau kayak gini keadaannya? Why does every single thing and every single person needs to be adjusted into her decision?

Ara dan Tita sama-sama menempuh sekolah di SMA 3 Malang. Ara naik kelas dua. Tita sudah menjelang kelulusan. Kesempatan SNMPTN Undangan tanpa tes didapat Tita berkat prestasinya yang cemerlang. Dan, akan mudah baginya untuk masuk FK Brawijaya. Namun, tampaknya Tita memiliki impian yang lain.

Jakarta, kota tujuan Tita itu menjadi kota asing penuh keributan di benak Ara. Tempat penuh kemacetan, kesibukan tingkat tinggi, persaingan superketat, dan orang-orang kota metropolitan penuh kesombongan. Jakarta seems so unreal to be a place of living, pikir Ara.

Aku juga punya kehidupan sendiri. Gimana bisa aku ninggalin Joan dan temen-temenku di SMA? Beradaptasi dengan lingkungan baru, teman-teman baru, jalin hubungan jarak jauh dengan pacar, apakah semuanya dikira gampang? Ouch, are you so happy to see me unhappy, Big Sis?

Lihat selengkapnya