Perkenalan Ara pada Jakarta kurang lebih sama seperti pendatang-pendatang lain. Ara berkali-kali nyinyir dalam hati. Betapa Jakarta menyimpan kegetiran di sudut-sudutnya. Kesenjangan sosial yang kentara, kemacetan yang tak kunjung terurai, polusi udara yang mengesalkan, juga tabiat penduduk ibu kota yang tak ramah.
Menyebalkan sekali, pikir Ara. Ia pernah diketawai abang penjaja siomay karena mencoba logat Jakarta yang “lu-gue” itu. Tapi, sayangnya, logat medhok Jawa Timur-annya masih sangat kental. Sebulan rupanya bukanlah waktu yang cukup bagi Ara untuk melunturkan logat kampungnya.
Ara juga dipaksa mengenal istilah cepek, gopek, ceban, dan saudara-saudaranya. Berhadapan dengan kasir minimarket yang superjutek. Bahkan, sempat kecopetan saat menemani Bu Tiar mencoba busway ke rumah Tante Grace.
Mau tidak mau, suatu saat nanti Ara akan terserap dalam putaran rutinitas warga Jakarta. Ia akan jadi salah satu dari mereka. Hanya bukan hari ini. Bukan saat ini, Ara bersikukuh.
“Ra, Ibu siapin mobil dulu. Kalau sudah selesai makan, langsung ke depan aja. Ibu tunggu di mobil,” ucap Bu Tiar.
Yang tersisa di meja makan hanyalah Ara dan Tita. Tita masih berpakaian santai karena perkuliahannya baru akan dimulai pukul 10.00 pagi. Di lain pihak, Ara sudah berseragam lengkap. Kemeja putih dengan badge baru “SMA Duta Bangsa”, rok abu-abu selutut, kaus kaki putih, dan sepatu Converse warna hitam. Gadis itu membiarkan rambutnya terurai, dengan klip rambut warna hitam menahan poni.
“Nggak usah bikin ulah hari ini, Ra,” ucap Tita setelah menyelesaikan suapan terakhirnya, “ini Jakarta.”
Ara pura-pura tak memperhatikan kakaknya. Ia asyik mengunyah sayur kangkung dan tahu goreng kesukaannya.
“Kamu tahu kan, Ayah-Ibu susah banget nyariin sekolah buat kamu. Yang perlu kamu lakukan cuma belajar dan nggak bikin masalah, Ra. Ngerti?”
Ara tidak tahu sejak kapan Tita mendewasa seperti ibu-ibu begini. Apakah pola pikir manusia akan berubah setelah jadi mahasiswi? Ara tahu betul tak ada hal yang menarik perhatian Tita selain buku-buku baru dan kacamata yang semakin tebal dari hari ke hari. Tapi, pesan Tita kepadanya barusan membuat Ara berpikir ulang. Sejak kapan Tita jadi sok perhatian kepadanya?
“Aku nggak butuh dikuliahin pagi-pagi gini.” Ara memasang tampang jutek. Ia mengambil tas punggung di kursi sebelah. Ara berjalan dengan malas ke arah pintu. Ia tak mau tahu apakah Tita akan menganggapnya sebagai adik yang tidak sopan. Ara sudah terlalu sering diperingatkan. Dikuliahi dan ditegur oleh kedua orangtuanya. Dan, kali ini ... Tita?
“Ra, dengerin aku sekali ini aja,” Tita berdiri di depan pintu, setengah berteriak.
Ara memutar leher, menengok kakaknya berceloteh. Ara tak peduli lagi. Ia mempercepat langkah, masuk ke mobil.
***
Mobil Bu Tiar keluar dari Jagakarsa Residence menuju Kemang Raya. SMA swasta terkemuka “Duta Bangsa” adalah tujuan pertama mereka pagi itu. Rencananya, usai menurunkan Ara di sana, Bu Tiar akan mengunjungi butik lain milik koleganya.
“Kamu nggak apa-apa, Nak?” tanya wanita itu pelan karena Ara mendadak diam.
“Nggak apa-apa, Bu,” jawab Ara singkat.
Ara bergeming bukan gara-gara sifatnya berubah. Sejujurnya, Ara hanya sedang memikirkan kata-kata Tita tadi sebelum ia masuk mobil. Ya, Ara mendengarnya. Gadis itu hanya pura-pura saja mengabaikan Tita.
“Kamu nggak perlu bikin image yang macam-macam, Ra. Ingat itu,” kata Tita.
Jakarta itu keras, Ta. Nggak banyak orang baik di sini. Aku nggak bisa biasa-biasa aja. Orang lain harus tahu kita hebat dan powerful. Supaya nggak ada orang yang berani sama kita. Supaya mereka bisa nerima kita. Di Jakarta, semakin kamu baik, semakin kamu nggak dihargai.
Sorry Ta, tapi aku nggak akan mau jadi anak ayam di kota ini.
Ara menolak mentah-mentah pesan Tita. Ia tidak akan sudi jadi baik. Ia tidak ingin orang melihatnya dengan sebelah mata. Ara tetap akan jadi Ara yang sama. Ara yang selalu unggul daripada orang lain. Ara yang punya kemampuan mengontrol orang lain.
Sedikit pun, Ara tak akan berbelas kasih. Ia berprinsip bahwa dirinya harus jadi orang yang lebih keras saat berhadapan dengan manusia Jakarta. Tanpa disadarinya, Ara telah masuk ke dalam definisi “manusia Jakarta” itu sendiri.
Ara sudah menyusun rencana di kepalanya. Pertama, ia akan berlagak bossy. Kedua, ia perlu mencari teman-teman “sederajat” yang bisa membantunya terlihat kuat. Terakhir, ia butuh seorang siswa yang lemah untuk jadi bahan bully-nya di hari pertama.
Selama lima menit Ara memang mendapatkan kepuasan dalam hatinya. Ia merasa yakin akan menguasai sekolah barunya. Namun, mendadak dalam sepersekian detik, kilasan perkataan Tita sebulan yang lalu meluber tak keruan.
Raut wajahnya berubah pucat. Detak jantungnya pun berlarian. Ara menyibak keringat yang turun di kedua pelipisnya. Ia mengusapnya berkali-kali. Namun, keringat itu terus mengalir. Ia merasakan telapak tangannya yang tiba-tiba dingin.
Lima menit yang lalu Ara baik-baik saja. Namun, kini ia pusing tak keruan. Perutnya seperti diaduk-aduk. Pandangan matanya berangsur-angsur kabur. Selama merasakan semua itu, Ara membeku tanpa suara.
***
Usai diturunkan Bu Tiar di depan gerbang sekolah, Ara melenggang penuh percaya diri. Dagunya terangkat. Dadanya setengah membusung. Ia berjalan dengan langkah pasti.
Akan tetapi, tak ada seorang pun siswa yang memandangnya.
Populasi SMA Duta Bangsa didominasi murid-murid cerdas. Kebanyakan dari mereka adalah pemburu ranking dan calon para mahasiswa UI. Tak heran kehadiran Ara bukan sesuatu yang spesial buat mereka.
Secara fisik, Ara termasuk murid yang berpotensi ikut ajang Gadis Sampul. Tinggi tubuhnya semampai, wajahnya halus tak berjerawat, dan bibirnya bersemburat merah meski tanpa lip gloss. Tapi, barangkali, kecantikan tak bisa diagung-agungkan di semua tempat.
Usai menyusuri lorong kelas di lantai bawah, Ara sontak tersenyum riang. Ia menemukan kelas XI IPA 4. Dindingnya dihiasi kaca tebal yang tak bisa dibuka. Pintu kayu warna cokelat di ujung salah satu sisinya terlihat tertutup. Beberapa siswa masuk, membuka, dan menutup pintu itu kembali.
Ara berdiri seorang diri, tiga meter jaraknya dari pintu itu. Ia sedang menyiapkan ekspresi bossy-nya ketika tiba-tiba sesuatu mendorongnya dari belakang dan membuatnya terjatuh. Gadis itu berlutut di lantai, telapak tangannya menahan perih.
Ia baru saja akan berdiri ketika sepasang sepatu bermerek nongol di depan matanya. Ara mendongak pelan. Seorang gadis bermata bulat sedang melipat tangan tanpa ekspresi.
“Kalau lu nunggu busway, bukan di sini tempatnya.” Gadis itu meninggalkan Ara begitu saja, berlalu ke arah pintu, diikuti dua gadis lain di belakangnya.
Ara berdiri dan menepukkan kedua telapak tangannya. Ia memeriksa lututnya. Hanya memar sedikit, tak sampai mengeluarkan darah. Meski begitu, apa yang dialaminya itu sudah cukup membuat Ara menyumpah dalam hati.
Ara ingin sekali mendatangi gadis bermata bulat itu. Ia buru-buru membuka pintu kelas. Hawa AC sedingin Pegunungan Tibet menyambutnya. Kedua matanya memburu keberadaan gadis itu.
Mata Ara berhenti pada sekumpulan gadis di pojok ruangan. Gadis bermata bulat itu lebih dahulu melihat ke arahnya. Diikuti dua gadis yang duduk di sebelah dan di depannya. Ara memilih untuk meredam kemarahan. Pagi ini terlalu dini untuknya mencari-cari masalah. Ara akhirnya mengabaikan sorotan tiga pasang mata itu. Dan, memilih untuk mencari tempat duduk.
Sebagian besar bangku sudah “ditandai” dengan tas atau buku. Dan, beberapa murid sudah berada di bangkunya masing-masing. Ara berjalan pelan, memeriksa di mana ia harus duduk.
“Di sini kosong.”
Ara menahan langkahnya dan menoleh. Ia mendapati seorang gadis berkacamata, berambut pendek, dengan bulu mata lentik, sedang tersenyum ke arahnya. Gadis itu menunjuk kursi di sebelahnya. Meja paling depan, dekat pintu.
Ara memandang gadis itu sekali lagi. Dan, ia benci mengatakan ini. Sungguh, gadis itu terlihat terlalu baik, dan Ara benci berdekatan dengan orang lemah.
“Gue cari kursi lain aja,” Ara memaksakan senyum.
Ia segera beralih dari situ. Dan, mencoba menemukan kursi yang lebih menarik di bagian belakang. Sayangnya, tempat pojok belakang yang dicarinya semua sudah terisi. Tempat strategis untuk tertidur dan bersantai tak tersedia lagi. Ara terpaksa kembali ke barisan depan. Dan, duduk secara cepat tanpa aba-aba di samping gadis berambut pendek yang tadi menawarinya kursi. Ara mengabaikan letupan rasa malu dan kikuk yang luruh di dadanya.
Gadis berambut pendek itu memutar badan. Memandangi Ara selama beberapa detik. Lalu, membetulkan letak kacamatanya yang sedikit berubah.
“Lihatin apa?” Ara tampak gerah dipandangi seperti itu.
Gadis di sebelahnya menarik senyum spontan. Lalu, mengulurkan tangan, “Kenalin, aku Vania.”