Ara berjalan santai dan menaruh tas punggungnya di kursi. Vania, seperti biasa, sedang menekuri sebuah buku. Kali ini buku matematika. Bu Mardi, wali kelas sekaligus guru Matematika, akan mengadakan kuis singkat hari ini.
“Udah belajar, Ra?” Vania mengembangkan senyum.
Lingkaran hitam di bawah mata Ara mengisyaratkan bahwa ia belajar semalaman. Tapi nyatanya, Ara tak akan pernah bertahan lebih dari 15 menit saat berhadapan dengan buku.
“Terus, semalaman kamu ngapain, Ra?”
Ara menyeringai. Ia mengingat kembali apa yang dilakukannya tadi malam. Ia membuka buku Matematika. Membaca beberapa teori dan mencoba mengerjakan soal. Lima belas menit kemudian, ia beralih dari meja belajar ke atas kasur. Lalu, mengambil ponsel dan menelepon Joan.
“Ah, kalian LDR?”
Ara mengangguk malas. Ia masih ingat bahwa ia sama sekali tak menyukai hubungan jarak jauh. Dan, menelepon Joan seperti tadi malam memang menenangkannya, untuk sementara. Ia bisa menceritakan apa pun. Ia bisa mendengar cerita keseharian Joan.
Tapi, begitu Ara bangun tidur, ia tersadar bahwa Joan tak bisa diajak berangkat bersama ke sekolah. Tak bisa diajak jalan-jalan sore ke tempat-tempat baru. Tak bisa ada untuknya setiap ia mau.
Ara melupakan gagasan itu. Diambilnya buku Matematika dari dalam tas. Ia membuka buku itu sesuai halaman yang ditandainya. Namun kemudian, perhatiannya terganggu oleh seseorang.
“Van, dia anak baru, ya?” Ara melirik ke anak laki-laki berkacamata yang sedang duduk diam tepat di sebelah kiri meja Ara.
“Oh, bukan. Dia memang kemarin nggak masuk, jadi mungkin kamu baru lihat.”
Ara mengangguk paham. Sesuai ingatannya, murid yang duduk di meja sebelah kirinya bernama Bobby, dengan perawakan gendut dan tidak berkacamata. Ara pun memutar pandangan. Dan benar saja, Bobby sudah pindah duduk ke kursi di belakangnya.
“Oh, jadi mereka tukeran tempat, ya?” Ara bertanya kembali. “Bobby sama—”
“Alden,” sahut Vania pelan setengah berbisik, “Alden Dimitrio.”
“Wah, namanya bagus juga.”
“Tapi, orangnya enggak,” Vania menggeleng.
Kedua alis Ara terangkat. Ia sungguh ingin tahu mengapa seorang Vania yang baik hati sampai bisa bilang begitu. Namun, rasa penasarannya tersekat oleh bel masuk dan Bu Mardi yang memasuki kelas beberapa detik setelahnya.
Hampir seluruh murid diterkam kecemasan. Kehadiran Bu Mardi mengisyaratkan kuis Matematika akan dilaksanakan sebentar lagi. Beberapa murid mulai melafalkan rumus, bibir-bibir berkicau lirih, halaman buku dibolak-balik.
Suasana chaotic seperti itu tidak pernah dirasakan Ara di sekolah lama. Kini, gadis itu merasa pesimis. Sesulit apa kuis Matematika di Duta Bangsa? Ini bahkan bukan ujian. Nilai dari kuis hanya nilai cadangan kalau-kalau nilai ujian akhir tidak memuaskan. Tapi, ada apa dengan segala kepanikan ini?
“Kuis hari ini sangat mudah,” Bu Mardi tersenyum simpul, “sepuluh soal, Ibu beri waktu 20 menit. Dikerjakan sendiri-sendiri. Kalau ketahuan ada yang nyontek, kalian sekelas nggak punya kesempatan ikut ujian semester.”
DEG!
Ara hampir muntah mendengarnya. Mimik wajah menyesal tergambar jelas. Sepertinya ia salah pilih sekolah. Ara tidak pernah menyangka sistem pembelajaran di Duta Bangsa ternyata “mengerikan”.
“Yang sudah selesai duluan boleh dikumpul ke Ibu.” Bu Mardi duduk di kursinya. “Kalian boleh kerjakan mulai dari sekarang.”
Ara buru-buru membuka kertas soal. Ia melakukan skimming dari soal nomor satu sampai sepuluh. Tatap matanya terhenti mulai dari nomor empat. Lalu, nomor lima. Begitu seterusnya sampai nomor sepuluh.
Ara tiba-tiba menyesali aktivitasnya begadang tadi malam. Lima belas menit yang mengenaskan. Lima belas menit tak berguna. Meneliti soal-soal itu membuat Ara menyadari kapasitasnya yang nol besar.
Kuis pagi itu seputaran statistika dasar. Dari sepuluh soal, Ara hanya yakin pada tiga nomor pertama. Mean, median, modus. Sementara soal sisanya menanyakan hal yang berbeda.
Jangkauan? Kuartil bawah? Kuartil atas? Simpangan kuartil? Simpangan baku? Simpangan rata-rata? Ragam?
Oh, you’d better to kill me, teriak Ara dalam hati. Ia tak punya gagasan untuk menjawab tujuh soal lainnya.
Tak terasa sepuluh menit telah berlalu. Dan, baru tiga soal yang bisa dikerjakan gadis itu. Ia mencoret-coret seadanya, mencoba menemukan jawaban untuk tujuh soal sisanya. Tapi, coretan itu tak membuahkan apa-apa.
“Saya sudah selesai, Bu.”
Ara mencoba mengumpulkan nyawa. Ia menegakkan punggung dan memeriksa pemilik suara itu. Tampaknya Alden Dimitrio sedang berdiri di depan meja Bu Mardi. Ia mengangsurkan beberapa kertas kepada beliau.
Semua murid terbengong-bengong melihat Alden. Ara menatap betul-betul jarum jam di tangannya. Lalu, ia ikutan tertegun.
Masih ada sepuluh menit, tapi dia udah selesai? Ara sungguh tak percaya. Ia memandang sosok bernama Alden Dimitrio itu. Lelaki yang dipandanginya dari jarak beberapa meter itu membalikkan badan. Berjalan kembali ke tempat duduknya.
Bukannya kembali menekuri pekerjaannya yang belum selesai, Ara justru mengidentifikasi sosok Alden. Menebak berapa dioptri lensa kacamata supertebal itu. Memperkirakan mengapa ia berpakaian begitu rapi tanpa cela. Menegaskan bahwa ia tak salah melihat jika lelaki itu berjalan agak aneh. Dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa lelaki itu tak pernah berani memandang orang lain.
So weird.
Diliriknya lelaki itu dengan sinis. Seandainya saja Ara punya otak separuh bagian saja dari otak Alden, barangkali ia masih punya akal menghadapi tujuh soal “asing” itu. Kini yang bisa gadis itu lakukan adalah mengarang bebas. Menuliskan operasi matematika asal-asalan yang ia sendiri tak bisa mengerti.
Dua puluh menit berlalu. Bu Mardi menginstruksikan semua siswa mengumpulkan hasil pekerjaan mereka. Usai duduk kembali di kursi masing-masing, suasana kelas berubah riuh. Para siswa mendiskusikan pekerjaan mereka, satu sama lain.
Berbeda dengan Vania yang menggelontorkan jawabannya untuk semua soal, Ara bahkan tidak ingat hasil akhir tiap nomor yang ditulisnya di kertas jawaban.
“Gimana? Gampang, kan?” sindir Bu Mardi setelah melihat-lihat kertas jawaban para siswanya. “Nilai kalian akan Ibu tempel di pintu kelas besok pagi.”
Seolah belum cukup dengan rumitnya soal yang memanaskan kepala, para siswa juga harus merelakan “harga diri” mereka dipajang besok pagi. Dilihat siswa kelas lain dan guru-guru yang lewat. Kebanggaan hanya akan ada jika mereka berusaha cukup keras. Alih-alih bangga, Ara sudah lebih dahulu menyerah.
“Kita dapat kabar baik, Anak-Anak,” Bu Mardi melirik Alden sekilas, “Teman kalian, Alden Dimitrio, mendapat medali perak pada Olimpiade Sains Nasional bidang Astronomi di Magelang kemarin.”
Riuh tepuk tangan mengikuti kabar baik itu. Bu Mardi tersenyum bangga. Semua siswa memberikan tepuk tangan, kecuali Ara.
Andhara Kirana Mahestri terperangah beberapa detik sambil memandangi lelaki bernama Alden itu. Ia tak percaya ada manusia segenius dia. Dan, sepertinya tindakan Ara dalam merespons kabar baik itu sedikit terlambat.
Ketika riuh tepuk tangan perlahan menghilang, Ara justru—secara tidak sadar—memberikan tepuk tangan sekeras-kerasnya sambil tertawa riang.