“Pak, ini tugas saya,” ujar seorang siswi. Namun, melihat seseorang yang diajaknya bicara tak kunjung menjawab, siswi tersebut memanggilnya lagi. “Pak Aksa? Are you okay?” Dan panggilan itu sukses membuat sang empu nama tergagap.
Ya, dia Aksa. Setelah dua tahun berlalu dari pernikahan Rayya, ia masih seperti kehilangan arah. Pikirannya masih pada Rayya. Seorang wanita yang kini telah bersanding dan baru saja melahirkan kemarin.
“Oh, iya, taruh disitu saja, ya.”
“Baik, Pak.”
Setelah siswi itu pergi, Aksa mengusap wajahnya kasar.
Dua tahun lalu, selepas pulang dari acara pernikahan Rayya, Aksa segera mengemas kembali pakaiannya, padahal baru saja ia datang tiga hari yang lalu. Ia pamit pada Abi dan Umi, tak mengutarakan kemana ia pergi. Namun, jelas ia tidak ke Sulawesi, ke rumah kakak perempuannya yang sekarang tinggal bersama suami dan ayahnya. Aksa tak ada kabar selama satu tahun. Tetapi, pada tahun keduanya, ia akhirnya menghubungi Abi dan Umi, serta keluarganya.
Aksa menetap di Jogjakarta, memutuskan untuk mengajar Agama di sekolah menengan atas standar Internasional. Sampai sekarang Aksa masih bertahan di sekolah itu. Mengumpulkan uang yang kadang-kadang ia kirim untuk Abi dan Umi, begitu juga untuk Rani dan Ayahnya.
Joni dan Kevin pun berhasil mencari info Aksa yang seperti hilang begitu saja dihempas angin. Namun, kabar yang diberikan oleh Kevin kemarin benar-benar membuat Aksa yang hampir saja berhasil menghapus bayang-bayang Rayya seketika gagal.
[Bro, mumpung gue ini di Jogja, besok gue mampir ke tempat lo ya? Sekalian mau ngajak lo pergi ke rumah Rayya. Baru saja dia melahirkan minggu lalu. Mumpung besok juga weekend, pastilah lo juga libur. Lo mau datang, ‘kan? Lo udah move-on, ‘kan?]
Pesan tak terduga yang dikirimkan oleh Kevin itu benar-benar memporak-porandakan hatinya. Ingin sekali Aksa menolak. Aksa ingin hatinya baik-baik saja dulu.
Namun, Aksa tetap mengiyakan ajakan itu. Karena ia sendiri tak ingin terlihat sebagai lelaki rapuh yang sampai sekarang belum melupakan cinta terlambatnya.
Aksa tersenyum samar. “Cinta yang datang terlambat.”
Aksa menggeleng cepat. Lantas segera kembali fokus pada beberapa tumpukan kertas yang menanti untuk segera dia koreksi hari itu juga. Agar ketika pergi ke Demak nanti, ia tak merasa terbebani dengan tumpukan kertas yang seakan-akan melambai-lambai dalam ingatannya untuk segera dikoreksi.
***