Setelah larut dalam kenangan masing-masing, mengenang setiap kejadian yang telah berlalu, saling menceritakan kisah yang tak diketahui oleh yang lain, tak terasa mobil memasuki daerah perbatasan Demak dan Semarang.
Demak, kabupaten yang menjadi saksi bisu kisah cinta Aksa dan Rayya, meskipun mereka sama-sama saling tak menyadari. Sebenarnya bukan mereka, hanya Aksa. Gadis itu dari awal sudah menyadari perasaan aneh pada dirinya, namun ia memilih merahasiakan rasa itu karena tak ingin persahabatan itu hancur.
“Emang Rayya masih netap di Demak?” tanya polos Aksa. Dua tahun merupakan waktu yang cukup lama, ‘kan? Bisa saja wanita itu pindah rumah? Atau memang rumah suaminya tidak di Demak, ‘kan? Aksa benar-benar tak mencari informasi tentang Rayya setelah mengetahui bahwa gadis itu akan menikah. Rasanya ia sudah tak layak lagi untuk itu.
“Rumah Rayya di Demak, Sa. Dekat sama pondok Abi lo. ‘Kan suaminya memang rumahnya disitu,” jelas Kevin.
Aksa mengangguk. “Ke rumah Rayya langsung? Atau mau ke Abi dulu?”
“Ke Abi Aksa dulu aja, Vin. Ini udah malem banget, nggak enak kalau mau bertamu ke tempat Rayya semalam ini. Nggak papa ‘kan, Sa?”
Aksa menggeleng. “Nggak papa, gue udah ngabari Abi tadi sore.”
Mobil melaju pada perumahan sederhana yang dihuni oleh Pak Asror dan sang istri, atau Abi dan Umi Aksa.
Aksa turun dari mobil. Merenggangkan otot-otonya yang terasa sangat lelah. Empat jam bukanlah waktu yang sebentar, itu adalah waktu normal perjalanan. Belum lagi harus berhenti untuk sholat. Lelaki itu melihat arloji yang melingkar di tangan kanannya.
“Jam sembilan, Abi dan Umi sudah tidur belum, ya?” ujar Aksa lirih.
“Kita mau masuk atau tidur di mobil? Nggak enak sih sebenarnya kalau ganggu.” Kevin mulai menatap pintu rumah.
“Kita coba dulu, ya? Kalau dibukain pintu, nanti tidur di rumah. Kalau enggak, cari hotel aja nggak papa. Gimana?” tawar Joni dan disetujui oleh semuanya.
Aksa mendekat, mencoba mengetuk pintu.
Tok … tok … tok …
“Assalamualaikum, Abi, Umi.”
Hening. Tak ada jawaban.
“Coba sekali lagi, Sa. Tunggu sampai tiga kali, ‘kan?” tanya Kevin.
Aksa mengangguk. “Gue coba lagi, ya?”
Aksa mulai mengetuk pintu lagi. Dan kembali mengucap salam. Terdengar suara langkah kaki bertalu-talu. Menciptakan wajah tenang bagi mereka bertiga.
“Waalaikumussalam, maaf Aksa, tadi Umi baru selesai masak makanan kesukaan kamu, Abi masih di pondok, ada acara mala mini. Masuk sini. Yok masuk nak Kevin, nak Joni. Maaf seadanya, ya.” Umi membuka pintu dan otomatis merespon seperti itu.
“Ndak papa, Umi. Aksa ngerti kok.”
Aksa mengambil tangan Umi. Menciumnya takzim. “Maaf, Umi. Aksa baru pulang sekarang.”