Hibat 2 - Sebuah Cinta untuk Aksa

Arina Unsiyati
Chapter #6

BAB 6 - KEMBALI KE RUTINITAS

Minggu sore kemarin Aksa telah kembali menginjakkan kaki ke rumahnya. Akhir pekan yang sungguh berkesan. Hanya dua hari setengah namun dapat meluruskan segala hal yang selama ini sengaja Aksa hindari.

Sekarang Aksa sadar, bahwa sebuah masalah tak akan pernah selesai jika kita hanya berlari dan menjauh. Kita harus berani menghadapi apa pun itu, meski hasil tak sesuai dengan harapan. Orang pernah berkata bahwa boleh pergi untuk menenangkan diri, namun harus tahu waktu kamu akan kembali lagi. Tapi, salahkah Aksa jika ia butuh waktu lima tahun untuk berpikir dan dua tahun untuk melupakan?

“Gimana liburan kemarin, Mas?” tanya seorang wanita cantik.

Dia Renaya, rekan kerja Aksa. Gadis itu menjabat sebagai guru Fisika dan wali kelas. Renaya pun yang membantu Aksa berangsur-angsur melupakan kenangan bersama Rayya.

“Akhirnya semuanya jelas, Nay.” Aksa memandang kosong ke depan.

Sedang Renaya menghembuskan napas pelan. Ia tahu, namanya hampir sama dengan gadis itu, tapi entah mengapa ia tidak suka dengan panggilan itu. Karena teman-teman biasa memanggilnya Ren.

“Alhamdulillah Mas kalau gitu aku ikut seneng,” ucap Renaya sembari kembali fokus ke laptopnya, mempersiapkan soal ulangan harian Fisika.

“Sibuk ngapain, Nay?” Aksa berjalan mendekati meja Renaya.

Iya, sekarang Aksa sudah mulai terbuka dengan orang, terutama dengan wanita. Masih menjaga jarak, tapi tidak seperti dulu.

“Buatin soal ulangan harian, Mas.” Renaya masih terfokus pada laptop di depannya.

“Jadi, kemarin ketemu sama Rayya?” sambungnya kemudian.

Aksa mengangguk. “Awalnya canggung sih, Nay. Tapi, Alhamdulillah semuanya jadi jelas sekarang. Jujur, aku nggak nyangka kalau dia bakalan jujur terlebih dahulu.” Lelaki itu duduk di ujung meja kerja Renaya.

“Jadi? Dia yang jujur duluan, Mas?”

Lagi, Aksa mengangguk.

“Dih, apaan sih Mas Aksa kok cemen jadi orang.” Renaya menatap Aksa lekat.

“Lhah? Terus yang bener gimana Renaya Anggelicha Putri, anak dari Pak Donatur Sekolah?” Aksa berkata setengah berbisik.

“Mas…” geram Renaya. “Nanti ada yang tahu dan nganggep aku di sini karena Papa.”

Aksa tertawa renyah. “Iya-iya, maaf ya.”

Renaya Anggelicha Putri. Seorang putri dari donatur tetap di sekolah ini. Bekerja di sekolah ini dengan kemampuannya sendiri, serta berencana ingin membuktikan bahwa pikirannya selama ini salah. Renaya beranggapan bahwa, korupsi yang berhasil diberantas Aksa tentang wakil kepala sekolah, akarnya masih ada dan masih berusaha memanipulasi pengeluaran dana demi kepentingan pribadi. Apakah Aksa mengetahui? Tentu saja tidak.

Bagi Aksa, Renaya gadis penuh misteri. Banyak suatu hal misteri yang tak ia ketahui. Membuat lelaki itu berpikir panjang saat akan mendekati Renaya. Ya, Aksa tahu wanita itu memiliki perasaan pada dirinya. Dan ia ingin berjuang juga. Ia tak mau jika harus menyesal lagi dikemudian hari. Masalah perasaan, bukankah perasaan akan hadir dengan tak terduga? Aksa percaya pada suatu pepatah jawa yang mengatakan ‘witing trisna jalaran saka kulina’ yang bisa diartikan, cinta datang karena terbiasa. Saat ini, lelaki itu masih mencoba menghapus bayang-bayang tentang Rayya.

“Kalau ketahuan bisa berabe, Mas.” Renaya menatap geram Aksa. “Aku memang masuk kesini karena kemampuanku, tapi ‘kan ada hal yang harus aku selidiki. Kalau aku ketangkap, ntar Mas Aksa nangis lagi kehilangan aku,” ujarnya pede.

“Wah, siapa kamu, Nay. Mana mungkin aku bakal kehilangan kamu?” Aksa tergelak pelan.

“Kita lihat nanti ya, Mas. Kalau suatu saat aku pergi, kamu sedih nggak?” Renaya menaik-turunkan kedua alisnya.

“Hus! Kalau ngomong itu lhoh.” Aksa berdiri dari duduknya.

“Kenapa, Mas? Takut kehilangan aku, ya?”

“Bukan.”

“Lantas?”

Aksa menghela napasnya pelan. “Bukankah ucapan adalah doa?”

Lihat selengkapnya