HICKS (Hidup, Impian, Cinta, Keluarga dan Sahabat)

Sidik Setyo Hanggono
Chapter #1

CHAPTER 1

Kehidupan bukanlah hanya sekedar kata, namun memberikan banyak arti bagi manusia yang menjalankannya. Kehidupan bagai sebuah wadah, didalamnya berisi berbagai macam kisah, bukan sekedar kisah, melainkan kisah penuh makna, sehingga pada hakikatnya adalah memberikan pelajaran kepada manusia agar menjalani hidup dengan baik, dan mendewasakan sudut pandang tentang apa itu makna kehidupan sesungguhnya.

Semua orang menyadari bahwa roda kehidupan terus berputar, terkadang manusia bisa berdiri tegak diatas, bergelimang harta dan kebahagiaan, namun dalam seketika semua itu bisa berubah, manusia hidup terseok-seok di bawah, miskin akan harta bahkan kebahagiaan. Rasa syukur akan apa yang kita miliki saat ini akan membantu kita disaat terjatuh, dengan memiliki keyakinan bahwa apa yang kita rasakan itu adalah anugerah yang masih bisa kita rasakan, karena pastinya masih ada orang lain yang lebih kesusahan dari pada kita.

Itulah kehidupan. Setiap manusia berhak untuk mempunyai impian, karena tanpa impian, seseorang akan tumbuh tanpa arah tujuan, memiliki rasa cinta, tentunya tidak ada manusia yang mampu bertahan hidup tanpa cinta, cinta terjadi bukanlah hanya antara sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, tetapi juga cinta kepada keluarga, sahabat dan yang pasti kepada sang maha agung pencipta kehidupan Allah SWT. Manusia berharap bisa menjadi sesuatu dimasa depan, tetapi manusia hanya bisa berencana sementara Tuhan pemilik semesta alam lah yang menentukan, disaat kita melangkah pergi mengejar sesuatu, dan ternyata terhalang benteng kegagalan, maka keluarga adalah satu-satunya tempat untuk kembali, bukan untuk tempat meratapi nasib, melainkan tempat mempersiapkan diri untuk kembali berusaha menembus benteng tersebut  

***

Ditandai bunyi rem yang mulus sebuah mobil sport mewah berwarna merah baru saja berhenti di halaman parkir sekolah SMA Garuda Bangsa. Megah, bersih dan berkelas, pantas banget deh buat menggambarkan suasana sekolah terfavorit se-Jakarta ini. Dari dalam mobil keluarlah Toya, Raffi, Dean dan Elmo. Karena sudah tidak sabar, mereka pun bergegas menuju papan pengumuman untuk melihat dikelas mana mereka akan belajar tahun ini. Raffi yang jalan paling depan dan selalu terlihat percaya diri tanpa sengaja menabrak seorang guru laki-laki yang body-nya tinggi gede kayak petinju Muhamad Ali, beuh ngeri nggak tuh. Kebetulan guru itu sedang membawa setumpuk kertas, alhasil kertas-kertas itu pun jatuh berantakan. Sambil melotot guru ’killer’ yang dikenal dengan nama Togar itu langsung memarahi Raffi dengan logak Bataknya.

“Kamu ini bagaimana? Kalau jalan mata itu dipakai!!“

“Maaf pak, saya nggak sengaja.“ Raffi meminta maaf dan langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan lalu menyerahkan kembali padanya. Tanpa bicara apa-apa lagi pak Togar langsung pergi sambil melempar pandang sebal. Cowok kelahiran Bandung yang terkenal punya sifat humoris ini paling peduli banget dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Karena terlalu peduli akhirnya ia malah sering terbebani dengan masalah orang lain. Yang membuat ia makin berbeda dari ketiga sahabatnya adalah ia suka banget berorganisasi, telihat dari jas almamater OSIS berwarna biru dongker yang dengan bangga selalu ia kenakan. Menurutnya dengan berorganisasi akan menambah pengetahuan dan juga melatih diri untuk bisa menjadi pemimpin yang berwibawa ditambah lagi bertanggung jawab.

“Lain kali kalau jalan hati-hati Raf.“ Elmo menasehati. Cowok ini punya nama yang unik, seperti nama tokoh dalam serial tv Amerika Sesame Street, ia pun tidak tahu kenapa orang tuanya memberikan nama itu. Diantara ketiga sahabatnya Elmo lah yang paling dewasa dalam bersikap, selalu menjadi tempat sampah alias tempat curhat ketiga sahabatnya, sabar tapi tertutup banget kalau udah bicara soal keluarga.

“Iya, lincah banget lo!“ celetuk Dean sinis. Cowok berkaca mata dan punya lesung pipit ini punya sifat yang sangat bertolak belakang dengan Raffi, Dean dilahirkan di New York, Amerika Serikat. Ayahnya berasal dari Jakarta sedangkan ibunya lahir dan besar di Bogor, keduanya menuntut ilmu di Harvard University, setelah menikah mereka memutuskan untuk tinggal di New York sebelum akhirnya pulang ke Indonesia. Dean punya sifat yang cuek abis dan nggak pernah mau ambil pusing, baginya hal terpenting dalam hidup adalah buku-buku pelajaran dan rumus-rumus indah yang selalu melayang ceria dikepalanya, jadi wajar saja kalau dia mengantongi gelar juara umum di tahun pertama.

“Heh, gue nggak minta pendapat lo ya!“ balas Raffi ketus.

“Berisik lo berdua!!“ Toya menghentikan perdebatan, ”Kalau mau debat nanti aja.” Dean yang sudah membuka mulut dan siap untuk membalas terpaksa mengurungkan niat. Cowok bernama Toya ini punya sifat yang tempramental abis alias mudah naik darah, padahal dia nggak punya penyakit darah tinggi, tapi anehnya bisa berubah drastis jadi orang yang kalem kalau berhadapan langsung dengan seorang cewek yang ia sukai. Seperti namanya, cowok ini memang keturunan Jepang, ayahnya berasal dari Tokyo, sedangkan ibunya berasal dari Padang, Sumatera Barat. Mata yang agak sipit sering membuat orang lain melihatnya seperti pemeran dalam serial drama Jepang. Toya memiliki postur badan paling tinggi ketimbang ketiga sahabatnya, mungkin hal tersebut juga yang menjadi salah satu faktor pendukung ia terpilih menjadi kapten tim basket sekolah. Sering kali mereka terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran kecil, tapi setelah itu hubungan mereka akan kembali membaik, hal itu juga yang membuat persahabatan mereka terjalin semakin erat.

Diliputi rasa ingin tahu yang tinggi mereka pun sampai di depan papan pengumuman dan tanpa pikir panjang mulai menelusuri kelas demi kelas pada daftar di papan berukuran Extra besar itu. Satu per satu kelas ditelusuri Raffi untuk mencari namanya, tidak perlu waktu lama telunjuk jarinya berhenti disebuah nama yang ternyata adalah namanya, ia mendapat kelas sebelas IPA 1, sedangkan betapa kecewanya ia ketika mengetahui bahwa ketiga sahabatnya kembali satu kelas seperti saat di kelas sepuluh, mereka mendapat kelas sebelas IPA 3. Diliputi rasa kecewa Raffi bergegas membebaskan diri dari kerumunan lalu pergi.

“Yes, kita bertiga sekelas lagi!!!“ kata Toya bersemangat, Dean pun menganggukan kepala.

“Raffi kemana? Dia masuk kelas mana?“ Elmo yang sejak tadi sibuk dengan kelasnya baru menyadari kalau Raffi tidak lagi bersama mereka.

“Oh iya? Kemana tuh orang?“ Toya melihat ke kanan dan ke kiri tetapi Raffi memang sudah tidak ada.

“Dia nggak akan hilang.“ Dean tidak peduli.

Disisi lain Raffi yang masih diliputi rasa kecewa tanpa sengaja bertemu dengan guru laki-laki yang cukup dekat dengannya, kesibukannya di dalam berorganisasi, membuat Raffi banyak tertinggal pelajaran, oleh karena itu, pak Sandy-lah yang sering memberikannya jam pelajaran tambahan.

“Mau kemana Raf? Mukanya kesal gitu,“ tanya pak Sandi lembut.

“Pak, kenapa saya nggak bisa sekelas sama Toya, Dean dan Elmo? Terus kenapa mereka bisa satu kelas lagi?“ Raffi berusaha meredam emosi.

“Kamu ini ngomong apa sih!? Bukan itu yang harus kamu pikirkan, seharusnya kamu bersyukur bisa ada diposisi seperti saat ini.“ pak Sandi malah marah.

“Tapi pak...“

“Tidak ada kata tapi! Kamu harus perbaiki semuanya, copot nih almamater OSIS, tinggalkan organisasi kamu dan seriuslah belajar di kelas!“

“Saya nggak bisa pak, organisasi sudah jadi bagian dari hidup saya!“ dengan tegas Raffi menolak.

“Kamu harus bisa! Jarang ada orang yang bisa mendapatkan kesempatan kedua seperti kamu, Raf!“ pak Sandi menegaskan lalu berjalan pergi, wajahnya terlihat kesal.

Hemh! dengan rasa kecewa yang masih menguasai ia memutuskan untuk pergi ke lapangan basket dan beristirahat di bangku penonton.

 

Diterangi sinar matahari pagi yang tidak pernah lelah memberikan kehangatan, dan pepohonan rindang yang setia memberikan keteduhan Dean duduk di salah satu bangku penonton, ia terlihat sedang serius mengerjakan soal-soal latihan matematika sedangkan Elmo dan Toya sedang asyik bermain basket. Melihat ketiga sahabatnya terlihat bersemangat rasa kesal yang tadi ia rasakan perlahan mulai hilang, ia duduk disebelah Dean, sepertinya soal-soal matematika membuat cowok gila belajar ini tidak menyadari kalau Raffi baru saja duduk disebelahnya. Raffi pun duduk menghadap ke lapangan untuk menonton Toya dan Elmo bermain basket dengan beberapa siswa lain.

Bola basket memang sudah sangat melekat dalam kehidupan Toya, hampir setiap hari ia bermain dengan bola bundar yang satu ini. Saking asyiknya bermain sampai-sampai ia tidak menyadari ada seorang cewek yang baru saja melewati lapangan tepat ketika bola yang ia lempar memantul dari ring basket, alhasil bola pun tepat mengenai kepala cewek bernama Rasya sampai membuatnya terjatuh lumayan keras.

“Aduuhh..!!“

“Sorry!“ dipenuhi rasa bersalah Toya pun berlari menghampirinya.

“Sorry-sorry! Lo nggak ngerasa sih, sakit tau!!!“ Rasya tidak peduli.

”Gue kan udah minta maaf, gue nggak sengaja.” Toya yang terlanjur kesal berusaha meredam amarah.

”Kok jadi lo yang marah!? Rese banget sih lo!” bentak Rasya lalu pergi meninggalkannya sambil menampilkan ekspresi wajah yang sangat kesal.

“Biarin Toy. Dia masih emosi.“ kata Elmo sesaat setelah Rasya semakin menjauh dari pandangan mereka berdua.

“Nggak apa-apa, gue cuma nggak enak aja.“

“Siapa sih namanya? Kayaknya gue belum pernah lihat,“ tanya Elmo sambil memainkan bola basket yang sekarang berada ditangannya.

“Namanya Revalina Rasya Putri, kelas sebelas IPS 1.“ jawabnya sambil memandang kosong kearah Rasya yang semakin lama semakin menjauh.

“Woy!!!“ Elmo menepuk bahu sahabatnya itu, sepertinya ia sedang melamun entah memikirkan apa, “Lo kenapa? Suka sama cewek itu? Kayaknya lo tau dia banget.“ Elmo asal menebak.

“Hah! Nggak lah, sok tau lo kayak dukun.“ Toya yang terkejut mendengar tuduhan dari Elmo berusaha untuk mengelak, “Duduk yuk, gue capek nih.“ Toya mengajak Elmo beristirahat dan pergi menghampiri Dean dan Raffi di tepi lapangan, sepertinya mereka belum saling bicara karena Dean masih terlihat sibuk dengan soal-soal matematikanya.

“Lo apain anak orang, Toy?“ Raffi membuka obrolan.

“Gue nggak sengaja, siapa suruh jalan lewat tengah lapangan.“ jawab Toya teringat kembali kejadian tadi.

“Yang penting lo udah minta maaf kan?“

“Udah! Dia aja yang kecentilan.“

”Jangan gitu lo, nanti suka lagi.” Elmo meledek.

”Nggak akan!”

“Eh, tadi lo kemana Raf? Tiba-tiba ngilang gitu.“ tanya Elmo yang berpikir sebaiknya mengganti topik pembicaraan.

“Eehh..??“ Raffi berpikir sejenak mencari alasan yang tepat, setelah mendapatkan ide ia pun kembali bicara, “Tadi gue belum sarapan jadi gue makan di kantin, ya gitu.“

“Ooo...“ ucap Elmo tanda mengerti. Sedangkan Toya yang melihat Dean sedang asik dengan bukunya tertarik untuk bertanya. “Nah, lo lagi ngapain, Dean? Serius banget dari tadi.“

“Nggak ngapa-ngapain cuma sedikit persiapan aja.“ jawabnya singkat sambil tetap terpaku pada soal-soalnya.

“Persiapan apa?“ sahut Raffi yang akhirnya bertanya, terlihat Toya dan Elmo juga akan menanyakan pertanyaan yang sama namun kalah cepat.

“Menurut perhitungan gue, dua minggu lagi kita akan ada ujian harian jadi gue harus persiapkan banget.“ jawab Dean lalu kembali bermain dengan rumus-rumus dan angka-angka yang pasti tidak pernah bosan bermain dengannya sementara ketiga sahabatnya yang lain hanya bisa saling pandang, entah kagum atau justru malah berpikir bahwa sikap Dean terlalu berlebihan.

“Raf, gue dengar lo nggak mencalonkan diri lagi jadi ketua OSIS ya?“ kata Elmo yang lagi-lagi berpikir lebih baik untuk mengganti topik pembicaraan.

“Yap!“ jawabnya singkat.

“Gitu dong Raf, lebih baik lo konsentrasi belajar di kelas biar nilai lo lebih memuaskan!“ Toya mengutarakan pendapatnya.

“Eits, gue emang nggak mencalonkan diri lagi jadi ketua OSIS, tapi gue mencalonkan diri jadi ketua Majelis Permusyawaratan Kelas (MPK) dan gue harap kalian tetap mau dukung gue.“ kata Raffi mengklarifikasi ucapan sebelumnya.

”Serius? Ganti warna hijau dong Almamater lo?” tanya Elmo memastikan.

”Iya dong.” jawabnya optimis.

”Hemh, terserah lo sih. Kita tetep dukung kok.“ ucap Elmo walau sedikit berat hati, begitupun dengan Toya yang hanya menjawab dengan anggukan pelan.

“Thanks, kalian tau kan gue suka banget berorganisasi.“ kata Raffi meyakinkan, entah kenapa setelah mendengar ucapan Raffi, Dean menutup keras bukunya lalu mulai ikut bicara.

Lihat selengkapnya