Hidden

Seduhankata
Chapter #1

Hidden [SATU]

Roda putaran dunia tidak hanya berputar disatu orang saja. Dia juga perlu berputar pada orang diseluruh dunia. Hidup seperti bermain panggung sandiwara. Penuh drama. Ada kalanya sedih ada kalanya bahagia. Ada tokoh protagonis ada tokoh antagonis, ada juga tokoh netral. Dalam hidup nalar hanya membawamu dari A sampai B, tapi imajinasi akan membawamu dari A sampai ke manapun.

🍭🍭🍭

Hujan rintik-rintik perlahan membasahi baju hitam yang tengah dikenakan oleh gadis yang sekarang sedang berjongkok di depan sebuah gundukan tanah bernisan. Gundukan tanah itu terlihat kurang terawat. Hal ini lantaran kentara dari nisan yang tadinya berwarna putih berganti warna menjadi kecoklatan terkena tanah. Dilihatnya bunga yang tersandar di nisan itu mulai melayu sebab satu minggu yang lalu ia menaruhnya di sana. Gadis itu mengganti bunga yang tersandar di nisan dengan bunga yang baru dan menaburkan bunga tabur di atas gundukan tanah di depannya. Sabitha Renata Danjani. Bitha. Begitulah orang-orang memanggil namanya.

Bitha seperti tidak peduli dengan hujan yang sekarang mulai deras. Siapa yang tahu, sekarang ia tengah menangis dalam hujan. Disentuhnya nisan di hadapannya. Di elus-elusnya nisan itu dengan lembut. Bibirnya membentuk seulas senyum miris.

'Alvaro Demitris Khan, lahir 26 April 2000, wafat 11 Januari 2015 '

begitulah nama yang terukir di nisan itu.

Bitha terus saja menatap gundukan tanah di hadapannya. Sorot matanya menyiratkan kesedihan yang teramat dalam. Seperti kehilangan sosok yang benar-benar berati dalam hidupnya.

"Hai Var, apa kabar? Kamu baik-baik aja kan di sana? Aku baik-baik aja di sini. Maaf ya aku baru dateng ke sini, aku akhir-akhir ini sibuk ngurus kepindahan aku."

Bitha berkata kepada gundukan tanah di hadapannya. Tapi gundukan tanah itu hanya terdiam. Bitha melanjutkan ceritanya kembali.

"Var, mungkin ini bunga terakhir yang aku kasih ke kamu. Maaf, besok aku harus pindah ke Jogja. Bang Gavin kuliah di sana. Kata Bunda, kita sekeluarga juga ikut pindah ke sana, biar ngawasin Bang Gavinnya gampang."

Bitha menatap nisan itu lagi. Cairan bening sudah bergumul di kedua pelupuk matanya. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.

"Aku kangen sama kamu Var. Kamu kenapa sih Var harus ninggalin aku? Kenapa harus pergi tanpa pamit?"

Bitha menjerit tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Siapa yang tahu bahwa sekarang ia tengah menangis di tengah hujan.

Ia sudah tau, bahwa jika datang ke tempat ini akan beresiko besar pada hatinya. Akan beresiko besar untuk jiwanya. Akan beresiko besar membuka luka yang perlahan dijahitnya rapi-rapi kembali ternganga besar. Dan satu lagi, pasti akan memunculkan satu persatu kenangan yang berusaha ia enyahkan dua tahun terakhir ini.

Di usapnya air mata yang bercampur dengan hujan.

"Aku pergi dulu ya Var."

Setelah berkata seperti itu, Bitha lantas bangkit dari tempatnya berjongkok dan berlalu begitu saja di tengah derasnya hujan sore itu.

🍭🍭🍭

"Ya ampun Bitha, Kamu dari mana aja? Kok bisa basah kuyup begini?" Wanita paru baya dengan paras cantik dan dandanan elegan itu menghampiri putrinya yang baru saja kembali dengan keadaan basah kuyup.

"Dari hujan-hujan," jawab Bitha enteng.

"Kok hujan-hujan sih? Nanti kalo sakit gimana? Hm? Cepet mandi terus ganti baju. Bunda bikinin teh anget dulu." Bundanya mengomel panjang lebar tanpa spasi.

Mendengar hal tersebut, Bitha memutar matanya jengah, "iya Nda."

Dengan langkah gontai, Bitha menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Baru saja ia menaiki anak tangga ke tiga, Bundanya sudah menyerukan suaranya dengan lantang.

"Bithaaaaaaaaaaa!!" Jelas, suara itu menggema ke seluruh ruangan. Yang Bitha yakini itu berasal dari dapur.

Lihat selengkapnya