Mengetahui sang istri sedang mengandung adalah suatu kebahagiaan tak berujung bagi seorang suami yang memang menunggu buah cinta hadir diantara mereka. Setelah dua tahun menikah, Tari dan Valdo akhirnya dipercaya oleh tuhan untuk menjaga harta yang paling berharga, harta yang tidak ternilai harganya.
Selama masa kehamilan Tari bisa dibilang Valdo merubah dirinya menjadi suami yang sangat over protective pada sang istri. Selalu menjaga dan memperhatikan Tari apapun yang dilakukannya.
"Do, aku hanya hamil! Lihat aku hamil, bukan orang cacat yang ga bisa jalan. Ga usah lebay ah!" Tari memprotes Valdo yang membatasi ruang geraknya.
"Bukannya lebay, liat perut kamu itu udah kayak balon mau meledak. Udah nanti di rumah papa jangan jalan kemana-mana." Valdo menuntun Tari memasuki mobil yang sudah dinyalakan.
"Iya bawel." Tari tak kuasa menahan senyum melihat tingkah Valdo yang terkadang menyebalkan.
Tari melihat kearah perut besarnya. Benar kata Valdo, jika bayi yang Tari kandung berjumlah satu, tidak mungkin perutnya akan besar seperti ini. Mereka tidak pernah mau jika dokter menawarkan USG untuk mengetahui jenis kelamin, mereka ingin menebak-nebak saja.
Tiba-tiba kepanikan menyerangnya seperti ada satu hal yang Tari takutkan, yaitu melahirkan anak kembar. Dan ketakutan Tari bermula saat mereka sedang berkunjung ke rumah kakak iparnya.
PLAK!
Suara tamparan terdengar sampai ambang pintu masuk.
"Apa yang papa lakukan?! Dia istriku Pah! Aku masih bertanggung jawab atas dirinya. Papa tidak bisa ikut campur urusan ini!" Suara tinggi kakak ipar membuat Tari takut, ia mencengkeram lengan Valdo lebih kuat.
"Lebih baik kamu tunggu di mobil, biar aku saja yang masuk." Tari mengangguk mengiyakan perintah suaminya, ia berjalan dengan cepat ke arah mobil.
"Dia melahirkan anak kembar! Kembar! Buang salah satunya! Papa tidak mau melihat anak kembar!" Ucapan itu yang terakhir Tari dengar sebelum dirinya masuk ke dalam mobil.
Anak kembar. Anak kembar. Papa tidak menginginkan anak kembar. Pikirannya berpacu pada ucapan itu.
"Aku tidak ingin memiliki anak kembar!" Ucapnya yakin.
**
Suara tangisan bayi perempuan menggema di ruang persalinan setelah perjuangan panjang sang ibu untuk melahirkannya. Kedua orangtua baru itu menyambutnya dengan bahagia.
"Ugh! Sakit Do perut aku." rintihan dan genggaman Tari membuat Valdo panik, "Dok!" Teri berteriak kesakitaan saat perutnya mengalami kontraksi untuk kedua kalinya. Aura kepanikan dapat dilihat dengan jelas dari wajahnya.
"Sepertinya anda akan melahirkan lagi. Jangan panik, ulangi seperti tadi. Ayo ibu tarik napasnya." Dokter tersebut menenangkan Tari dan memberinya intruksi agar tidak panik.
Pikirannya kacau, ia akan melahirkan lagi? Jadi ia akan mendapatkan, anak- lagi?
Beberapa menit kemudian sang bayi lahir. Bayi yang sangat cantik, "Bayi perempuan pak, sangat cantik. Kami akan membersihkannya terlebih dahulu. Selamat ibu, dapat dua putri cantik." Dokter memberi selamat kepada Tari yang masih tampak lemah. Bayi perempuan tersebut diberikan kepada suster untuk dibersihkan dari bercak darah.
Suster menyerahkan bayi cantik yang baru saja dibersihkan kepada Valdo untuk mengumandangkan adzan pada telinganya, sebelumnya Valdo sudah mengumandangkan adzan pada putri pertamanya.
Setelah selesai bayi perempuan tersebut sama sekali tidak menangis. Semua orang yang berada di ruangan saling menatap satu sama lain. Bagaimana bisa bayi itu tidak menangis?
Valdo memberikan putri keduanya kepada dokter. Dokter tersebut sudah menjalankan tata cara yang harus dilakukan jika bayi tidak menangis, tetapi bayi perempuan tersebut belum juga menangis. Valdo mencoba meminta bayinya untuk digendong. "Ayo nak, menangislah." Valdo memeluk erat tubuh mungil tersebut.
Tari yang sedang Inisiasi Menyusui Dini (IMD) sang kakak sama sekali tidak menoleh kepada anak keduanya.
"Coba berikan kepada ibu nya, melalui skin to skin." Saran dokter. Valdo memberikan bayi cantik itu pada Tari.
Suster mengambil bayi mungil yang baru saja selesai menyusu untuk bergantian. Walau dengan keadaan lemah, Tari membelai pipi merah putri keduanya dan berbisik memerintah anaknya untuk menangis. "Menangislah," lalu mencium kening anak keduanyanya tersebut. Tidak lama kemudian suara tangis menggema, semua orang tersenyum akan hal itu.
Tak tercuali sang ibu. 'Menangislah, karena saya tidak akan menganggap mu.'
**