Revaldo Point of View.
Pagi hari adalah waktu paling sibuk untuk semua orang. Perubahan sikap simbo serta Atun membuat aku curiga. Mereka berdua seakan ingin cepat menyelesaikan menyiapkan sarapan untuk kami. Bukan hanya aku yang menyadari ada sesuatu yang aneh, mamaku pun menyadarinya. Mama datang kemarin sore dan berniat untuk menginap beberapa hari karena papa sedang ada pekerjaan di luar kota. Walau sudah berumur, pria tua itu selalu mementingkan pekerjaannya.
"Maafkan saya bu." Atun menundukan kepalanya saat air yang sedang ia tuang mengenai celana mama, tetapi mama tidak mempermasalahkan itu. Kami sarapan dengan tenang, Sia biasa bangun sekitar pukul delapan untuk sarapan. Pagi hari aku biasa mendengar suara garing Sea dari dapur, tetapi pagi ini aku tidak mendapatkannya. "Dimana Sea?" Aku bertanya pada simbo.
Wajah tua itu seakan pucat saat aku bertanya. "Sea belum bangun tuan." Simbo menjawab dengan suara gemetar, tidak biasanya anak itu belum bangun. Tatapanku beralih pada Tari, ia menatapku dengan tajam sekaan siap membunuh. Tatapan peringatan karena ada mama disekitar kami. Aku membuang pandanganku, ia selalu bersikap seperti itu jika aku bertanya tentang Sea.
Topik Sea selalu membuat Tari sensitif, entah itu tentang uang bulanan atau rasa sayang yang aku berikan walau sekedar mengusap kepalanya.
"Aku selesai, aku berangkat dulu." Mengambil tas, tidak lupa mencium punggung tangan mama. Aku tidak memperdulikan keberadaan Tari, buruk memang sikapku yang satu ini.
***
Author Point of View.
Suhu tubuh Sea mencapai 39,3°C, salah satu produk penurun panaspun tidak berpengaruh banyak pada suhu tubuhnya.
"Mbok ini bagaimana? Lebih dari 39 celcius." Atun panik melihat termometer digital ditangannya yang menunjukan angka 39,3.
"Panggil Udin, bawa Sea ke puskesmas belakang komplek." Simbo memakaikan jaket pada tubuh Sea. Sea sama sekali tidak menangis, itu yang membuat semuanya panik. Biasanya anak kecil kalau sedang sakit sangat rewel, sedangkan Sea terbilang diam.
Atun segera memanggil Udin yang sedang memotong rumput yang mulai tinggi. "Din! Udin! Sini capat." Teriak Atun panik.
"Ada apa neng Atun teriak-teriak?" Dengan gunting rumput ditangan, Udin menghampiri Atun.
"Sea ... Sea sakit. Anterin aku ke puskesmas belakang komplek pake motor kamu. Cepat!" Udin terlihat panik sekarang. Ia meletakan gunting rumputnya dengan cepat, lalu lari ke arah motor bebek kesayangan untuk dinyalakan.
Sea sudah menggunakan pakaian yang sangat rapat, namun suhu badannya bertambah lagi. "Gusti, sembuhkan anak ini." Atun mempererat pelukannya pada Sea.
Saat motor Udin akan melaju, mama dari Revaldo memberhentikan mereka. "Kalian mau kemana?" Qonita bertanya ramah.
"Aduh, anu. Kita mau ke puskesmas belakang komplek, Bu. Sea sakit." Mengintip anak yang berada didalam pelukan Atun, mata anak tersebut terlihat menutup rapat.
Qonita secara spontan memegang dahi bayi dalam gendong Atun. "Subhanallah panas banget. Berapa panasnya?" Qonita menuntut jawaban Atun.
"Sebelumnya 39,3. Terakhir naik jadi 39, 8 celcius." Mata Qonita membelalak, ia kaget dengan suhu tubuh setinggi itu.
"Ambil kunci mobil saya! Anak ini harus dibawa ke rumah sakit, kalau tidak nanti lewat!" Qonita mematikan keran air, lalu berlari kedalam rumah untuk mengambil tas miliknya.
"Bu, mobil sudah siap." Semua bergegas masuk. Qonita mengendarai mobilnya dengan hati-hati walau ia juga panik.
Jalanan macet Ibukota pada saat jam masuk kantor menambah kepanikan orang-orang yang berada di dalam mobil. "Kamu cek lagi panasnya Tun." Saat lampu merah tangan ibunda dari Valdo tidak lepas dari kening Sea. Tidak lama Mobil jazz silver itu berbelok memasuki rumah sakit ibu dan anak.
Kunci mobil Qonita serahkan pada petugas valet, ia tidak punya banyak waktu hanya untuk mencari tempat parkir. Ia dan Atun turun dengan tergesa-gesa. "Tolong cucu saya!" Qonita sedikit berteriak kepada perawat yang keluar dari ruang UGD. Atun memberhentikan langkahnya secara tiba-tiba karena kata yang diucapkan Qonita. Apakah ibunda dari tuannya itu mengetahui status Sea?
"Atun! Jangan diam begitu!" Atun menyerahkan Sea kepada perawat. Dokter jaga dan suster segera menangani Sea. Dokter memeriksa suhu tubuh, bola mata beserta lidah Sea yang memutih. Setelah selesai, dokter jaga meminta Qonita dan Atun untuk berbicara diluar tirai.
"Cucu anda minum Asi atau susu formula?" Tanya dokter tersebut.
"Susu formula dok." Atun menjawab dengan mata yang melirik Sea di dalam tirai bersama beberapa suster.
"Pernah ganti sebelumnya?" Dokter bertanya kembali.
"Susunya baru habis, tadi malam saya memberinya susu formula baru." Jelas Atun, dokter mengangguk mendapatkan jawaban atas dugaannya.
"Susu formula yang dikonsumsi tidak cocok untuk tubuhnya, tetapi ade tidak bisa memuntahkan cairan itu. Apakah anaknya cenderung diam atau menangis?" Tanya dokter untuk memastikan.
"Sea tidak menangis dok, hanya diam." Jelas Atun.
"Bisa dibilang ini termasuk kasus keracunan, saya menyarankan untuk adenya rawat inap. Tujuannya untuk observasi lebih lanjut sampai suhu tubuh dan kondisinya stabil." Dokter perempuan itu menjelaskan tentang keadaan yang dialami Sea.
"Terimakasih dokter." Ujar Qonita. Dokter dan beberapa suster izin undur diri.